Minggu, 01 Desember 2013

NEGOSISASI PARA PRIYAYI KARYA UMAR KAYAM MELALUI PENDEKATAN PRAGMATIK



BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Priyayi adalah kelompok sosial yang sejak tahun 1900-an menjadi elit birokrasi pemerintah. Orang-orang inilah yang menduduki berbagai jabatan pemerintahan. Merekalah yang memimpin, mengatur, memberi pengaruh, dan menuntun masyarakat. Semua orang yang duduk dalam jabatan administrasi pemerintah, para pegawai pemerintahan, dan orang-orang yang berpendidikan digolongkan kaum priyayi. Mula-mula, priyayi adalah mereka yang memiliki garis keturunan dengan raja atau adipati (dalam bahasa Jawa, priyayi adalah para yayi atau para adik raja). [1]
Para Priyayi memiliki kedudukan yang penting dalam peta novel Indonesia modern. Secara intrinsik, Para Priyayi sebenarnya tidaklah menyodorkan pembaruan yang radikal. Artinya, bahwa Para Priyayi masih tergolong sebagai novel yang konvensional. Meskipun demikian, usaha Umar Kayam yang nampaknya hendak merumuskan semacam sintesis, baik yang menyangkut tema citra manusia Jawa, maupun unsur intrinsik lainnya yang pernah digarap para sastrawan Indonesia, Para Priyayi dapat dikatakan menampilkan sesuatu yang “baru” dalam hal pengambilan waktu cerita yang begitu panjang.[2] Melalui novel pertamanya ini, Kayam ingin menyampaikan bahwa seseorang disebut priyayi bukan hanya karena kedudukan dan kekayaannya.
Berbagai tanggapan ikut meramaikan novel pertama karya Umar Kayam yang berjudul Para Priyayi ini, sehingga mendorong kami mengkaji novel Para Priyayi karya Umar Kayam dengan menggunakan pendekatan pragmatik. Selain itu, mengkaji novel Para Priyayi karya Umar Kayam merupakan tugas kelompok mata kuliah Kajian Prosa.
Pendekatan pragmatik adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap peranan pembaca dalam menerima, memahami, dan menghayati karya sastra.[3] Dari pengkajian karya sastra melalui pendekatan pragmatik ini, semoga kita bisa menikmati dan memanfaatkan (Dulce et Utile) karya sastra, khususnya makna yang tersurat ataupun tersirat dalam Para Priyayi bagi kehidupan kita.
B.     Rumusan Masalah
-          Bagaimana memahami unsur-unsur intrinsik novel Para Priyayi karya Umar Kayam?
-          Bagaimana memahami novel Para Priyayi karya Umar Kayam melalui pendekatan pragmatik?
C.     Tujuan Penulisan
-          Dapat memahami unsur-unsur intrinsik novel Para Priyayi karya Umar Kayam.
-          Dapat memahami novel Para Priyayi karya Umar Kayam melalui pendekatan pragmatik.


BAB II
BIOGRAFI PENGARANG

            Umar Kayam lahir pada 30 April 1932 di Ngawi, Jawa Timur. Ia menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Pedagogik Universitas Gadjah Mada (1955). Ia memulai kariernya sebagai karyawan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI (1956-1959). Ia memperoleh gelar doctor dari Cornell University, Ithaca (1965). Seusai memperoleh gelar doktor di Amerika, pada tahun 1966 ia menjabat sebagai Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film (Dirjen RTF) Departemen Penerangan RI di Jakarta (1966-1969). Ia menjadi ketua DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) (1969-1972).[4]
Umar Kayam tidak melupakan darah keluarganya sebagai seorang guru dan pendidik. Pada tahun 1972, Kayam menjadi dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, dosen luar biasa untuk mata kuliah Sosiologi Pendidikan pada Fakultas Ilmu Sosial UI (1970-1974), dan dosen untuk mata kuliah Sosiologi Kesenian pada Fakultas Sastra UI (1974-1975). Dari Departemen Penerangan ia dikembalikan sebagai pegawai senior di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menjabat Direktur Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial di Ujung Pandang (1975-1976) sekaligus dosen mata kuliah Sosiologi Pendidikan pada Fakultas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Hasanuddin (1976). Ia juga menjadi dosen tamu Fullbright di Indonesian Studies Summer Institute, University of Wisconsin, Madison Amerika Serikat (1977).
Pada tahun 1977, pihak Universitas Gadjah Mada memberi amanat kepada Umar Kayam dan rekan-rekannya untuk mendirikan Pusat Penelitian Kebudayaan UGM Yogyakarta. Umar Kayam diserahi tugas memimpin lembaga tersebut selama dua puluh tahun sampai 1997. Pada tahun-tahun inilah ia merasa ‘pulang kandang’. Sekaligus mengabdikan ilmunya di kampus di mana ia dibesarkan, Universitas Gadjah Mada. Ia menjadi dosen di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta di Jurusan Sastra Indonesia dan Sastra Inggris (1977-1997).
Dalam bidang seni peran, Kayam pernah menjadi aktor dalam film ‘Karmila’, ‘Kugapai Cintamu’, ‘Pengkhianatan G 30S/PKI, ‘Jakarta 66’, dan ‘Canthing’. Dalam film ‘Pengkhianatan G 30 S/PKI’ ia memerankan tokoh Sukarno. Umar Kayam juga menulis skenario untuk film ‘Yang Muda Yang Bercinta’, ‘Jago’, dan ‘Frustasi Puncak Gunung’. Umar Kayam pernah menjadi Ketua Dewan Juri Festival Film Indonesia. Selain itu, Umar Kayam sempat pula menjadi pengelola kesenian sebuah hotel di Bali.
Ia lebih banyak dikenal sebagai seorang sastrawan dan budayawan. Karyanya meliputi cerpen, novel, esai-esai kesenian dan kebudayaan. Khususnya, ia menaruh perhatian pada kebudayaan Jawa. Karya-karya fiksinya dianggap mempunyai makna baru dalam dunia kesusastraan. Ia dikelompokkan sebagai sastrawan angkatan ’70-an. Angkatan dengan corak atau kekhasan berupa penceritaan yang kokoh, tanpa banyak disertai pandangan-pandangan pribadi.[5]
Kayam pernah menjadi anggota Akademi Jakarta dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Ia wafat pada 16 Maret 2002, ia meninggalkan sejumlah karya tulis yang diterbitkan Pustaka Utama Grafiti, di antaranya Mangan Ora Mangan Kumpul (kumpulan kolom, 1990), Jalan Menikung (novel, 1999), dan Seribu Kunang-kunang di Manhattan (kumpulan cerpen, 2003).[6]

SINOPSIS
            Soedarsono anak keluarga buruh tani yang oleh sanak saudaranya diharapkan menjadi "pemula" untuk membangun keluarga priyayi. Berkat dorongan Asisten Wedana Ndoro Seten, ia dapat sekolah dan menjadi seorang guru. Disinilah ia mulai menapaki dunia priyayi pangreh praja. Soedarsono memiliki tiga orang anak, Noegroho (Opsir Peta), Hardojo (Guru), dan Soemini (istri Asisten Wedana). Karena hidup berkecukupan, Soedarsono merasa wajib membantu sanak saudaranya yang tidak mampu, dibawalah tiga keponakannya (Sri, Soedarmin, dan Soenandar) untuk ikut tinggal dan di sekolahkan di Wanagalih. Salah satu keponakannya, Soenandar memiliki perangai yang berbeda dengan yang lain, ia jail, nakal, dan selalu gagal dalam belajar.
Suatu ketika Seodarsono yang telah berganti nama menjadi Sastrodarsono, mengutus Soenandar untuk mengurus sekolah yang didirikannya di Wanalawas, diharapkan agar Soenandar lebih mandiri dan dapat bertanggung jawab. Akan tetapi,  Soenandar justru menghamili anak penjual tempe, Ngadiyem, dan akhirnya kabur. Lahirlah Wage yang kemudian diboyong ke wanagalih, dirawat dan disekolahkan, kemudian diganti namanya menjadi Lantip. Ia sangat cerdas, sopan, dan sangat menghormati orang tua. Lantip diangkat sebagai anak oleh Hardojo yang hanya memiliki satu anak bernama Harimurti. Suatu ketika Hari terjebak dalam pergaulannya di Lekra. Ia menjadi buron karena dianggap sebagai anggota Lekra yang berbau PKI. Hari sempat masuk penjara, tetapi berkat usaha pamannya, Noegroho, ia berhasil dibebaskan dengan syarat dan jaminan. Gadis, kekasih Hari yang sedang mengandung anak Hari ikut tertangkap dan dipenjara. Hingga akhirnya ia dan anaknya meninggal dunia beberapa hari sebelum keluarga datang untuk memberikan jaminan agar ia bisa bebas. Lantip tampil untuk mengembalikan jalan pikiran Hari. Ia juga yang mengurus segala masalah Marie, Putri paman Noegroho yang hamil di luar nikah.
Lantip akhirnya menikah dengan gadis Padang bernama Halimah. Lantip masih saja menjadi penengah keluarga Sastrodarsono sampai Eyang putri dan Embah kakung wafat, dan sampai seterusnya ia menjadi harapan keluarga. Lantiplah yang sebenar-benarnya menegaskan makna priyayi, pengabdian pada wong cilik, berkat pemikirannya yang rasional.[7]


BAB III
UNSUR-UNSUR INTRINSIK

A.     Tokoh dan Penokohan
*      Lantip
            Digambarkan sebagai tokoh yang sabar, rajin, taat, dan ulet. Selain itu, ia juga cekatan dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Ketika itu Lantip masih kecil dan baru saja ikut Sastrodarsono, tetapi Lantip sudah dapat mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik. Lantip adalah tokoh yang dapat diandalkan oleh seluruh keluarga besar Sastrodarsono dan suka menolong.
“Wah, wong anak desa sekecil kamu, kok ya cepet belajar mengatur rumah priyayi, lho,” kata Lik Paerah. (2011: 21)
*      Sastrodarsono
Sastrodarsono digambarkan sebagai tokoh yang patuh atau menurut saran dari orang tua. Sifat ini dapat dilihat ketika ia diberi nama tua. Selain itu, ketika orang tua Sastrodarsono memilihkan jodoh untuknya, ia pun menerimanya dengan kepatuhan.
“Karena itu sudah sepantasnya kamu menyandang nama tua, Le. Nama Soedarsono, meskipun bagus, nama anak-anak. Kurang pantas untuk nama tua. Namamu sekarang Sastrodarsono. Itu nama yang kami anggap pantas buat seorang guru karena guru akan banyak menulis di samping mengajar. Sastro rak artinya tulis to, Le?” Saya mengangguk, menerima dan menyetujui, karena pada saat seperti itu hanya itulah yang dapat saya lakukan. “Inggih, Pak.” (2001: 39)
*Siti Aisah/Dik Ngaisah
            Ngaisah adalah istri yang selalu setia kepada suaminya. Ngaisah sering digoda anak dan menantunya tentang kebaktiannya yang dianggap terlalu berlebihan kepada suami. Akan tetapi, ia tidak pernah mengubah sikap terhadap suaminya.
“Orang jawa mengatakan istri adalah garwa, sigarane nyawa, yang berarti belahan jiwa. Maka sebagai belahan jiwa bukankah saya mesti tidak boleh berpisah dari belahan yang satu lagi?” (2011: 227)
*Noegroho
            Noegroho memiliki sikap pasrah, tabah, dan ikhlas. Sikap ini ditunjukkan ketika anaknya yang pertama meninggal dunia karena tertembak tentara Belanda yang sedang patroli. Selain itu, sikap pasrah Noegroho ditunjukkan ketika ia mengetahui bahwa Lantip diangkat anak oleh Hardojo.
“Iya, iya, Bu. Sing sabar ya, Bu. Ikhlas, Bu, kita ikhlaskan anak kita pergi ya, Bu. Kalian juga ya, Marie dan Tommi, ikhlaskan kamas-mu pergi.” (2011: 223)
“… kemudian begitu saja keluar dari mulut saya: Bapak ikhlas, Le.” (2011: 224)
*Hardojo
            Hardojo adalah orang yang cerdas. Keberhasilannya dalam meniti karier tidak terlepas dari modal kualitas tokoh tersebut.
HARDOJO, anak saya yang kedua, mungkin adalah anak saya yang paling cerdas dan mungkin paling disenangi orang. Soemini sangat sayang kepadanya. Noegroho, yang cenderung paling serius dari semua anak-anak saya, juga sangat dekat dengan adiknya itu, dan kami orangtuanya selalu bisa dibikin menuruti kemauannya. (2011:102)
*      Soemini
Bandel, keras kepala, selalu ingin dituruti kemauannya. Ketika dewasa menjadi penurut dan sangat mementingkan pendidikan.
“Saya baru ingat waktu itu bahwa Soemini sejak kecil memang bisa bandel dan keras kepala. Kalau punya kemauan selalu minta segera dituruti. ...” (2011: 86)
“Saya mau sekolah dulu di Van Deventer School. Selesai itu baru saya bersedia jadi istri Kamas Harjono.” (2011: 86)
*      Harimurti
Harimurti sangat sayang dengan orang tuanya walaupun kadang berbeda pandangan, ia tetap menghormati orang tuanya. Ia juga memiliki sifat yang jujur dan tulus. Baginya kejujuran dan ketulusan lebih penting daripada gaya penampilan.
Saya diam tidak berusaha meneruskan perdebatan dengan orang tua saya. Jelas kami sudah berbeda pandangan. Dan perbedaan itu memang menandakan perbedaan pandangan antara angkatan yang lain. Bagi mereka mungkin yang terpenting adalah gaya penampilan karena itu dipandang sebagai pancaran jiwa dalam. Bagi saya tidak. Bagi saya kejujuran dan ketulusan lebih penting. Gaya penampilan dapat dikembangkan sambil berjalan”. (2011: 293)

B.  Latar/Setting
a) Latar tempat
*Wanagalih
            Wanagalih merupakan tempat tinggal Sastrodarsono dan Ngaisah. Tempat ini merupakan pusat berkumpulnya seluruh anggota keluarga Sastrodarsono. Hal ini dapat dilihat dari petikan di bawah ini.
“Keputusan kami untuk bertempat tinggal di Wanagalih dan tidak di desa saya bekerja, yaitu di Karangdompol, adalah juga atas nasihat Ndoro eh, Romo Seten Kedungsimo yang didukung oleh mertua saya Romo Mukaram.” (2011: 52)
*      Wanalawas
Wanalawas merupakan tempat Sastrodarsono mendirikan sekolah bantu untuk warga Wanalawas agar mereka dapat membaca dan menulis.
“Akhirnya semua persiapan untuk sekolah itu selesai juga. Semua perlengkapan, meski sangat sederhana, tersedia. Bangku dan meja secara gotong royong dibuat oleh orang-orang Wanalawas dengan alat-alat sederhana dan dari kayu-kayu yang didapat di sekitar Wanagalih.”
*Wonogiri
            Wonogiri sendiri merupakan tempat mengajar Hardojo. Hardojo berada di Wonogiri selama dua tahun. Beliau  juga mendapatkan istri yang berasal dari daerah Wonogiri. Inilah salah satu cuplikannya.
“Tempat saya mengajar di HIS Wonogiri, yang berjarak lebih kurang tiga puluh kilometer dari kota solo….” (2011: 151)
*Solo
            Solo merupakan tempat bekerja Hardojo setelah mendapat tawaran menjadi abdi dalem Mangkunegaran. Hardojo mengurusi bidang pendidikan orang dewasa dan gerakan pemuda. Oleh karena itu, seluruh daerah yang berada di bawah kerajaan Mangkunegaran ia datangi.
“… untuk akhirnya waktu menjelang masuk stasiun Sangkrah di Solo hanya wajah Sumantri saja yang terbayang.”(2011: 171)
*Yogyakarta
            Yogyakarta merupakan tempat tinggal keluarga Noegroho sebelum pindah ke Jakarta. Pada masa penjajahan Belanda, ia bekerja sebagai guru HIS di Jetis Yogyakarta. Selain itu, Hardojo juga tinggal di Yogyakarta setelah ia kecewa dengan sikap Mangkunegaran yang memihak Belanda.
“Kami pun lantas untuk sementara pindah lagi ke Yogya ke rumah ibu Sus, yang menetap di Yogya sejak pensiunnya di Semarang. Rumah itu tidak berapa besar, di bilangan Jetis, tidak jauh dari bekas sekolah dasar, tempat saya mengajar dulu.” (2011: 207)
*Jakarta
            Jakarta merupakan tempat tinggal keluarga Noegroho. Ketika keluarga Noegroho terkena musibah, Marie hamil di luar nikah, Lantip ditugasi oleh Sastrodarsono dan Ngaisah untuk ikut Sus ke Jakarta dan membantu menyelesaikan permasalahan tersebut. Selain itu, keluarga Soemini, anak Sastrodarsono yang ketiga, juga tinggal di Jakarta.
“Bagi mereka berdua yang terpenting akad nikah itu akhirnya sudah berlalu dengan selamat dan direstui oleh hadirnya semua anggota keluarga besar yang pada datang berkumpul di Jakarta.” (2011: 278)
b) Latar Waktu
         Latar waktu novel ini diawali pada masa penjajahan Belanda kemudian pendudukan Jepang, awal kemerdekaan hingga pemberontakan PKI. Tahun 1910 cerita ini dimulai, Sastrodarsono mulai menapakkan kakinya ke jenjang priyayi. Pada masa ini adalah masa penjajahan Belanda. Tiga puluh tahun kemudian adalah masa pendudukan Jepang dan revolusi, tokoh yang muncul dalam cerita ini adalah anak-anak Sastrodarsono. Noegroho menjadi anggota tentara, Hardojo menjadi abdi dalem di Mangkunegaran, dan Soemini menjadi istri asisten wedana. Cita-cita Sastrodarsono untuk membangun keluarga priyayi dapat dikatakan berhasil. Dapat dilihat kutipan sebagai berikut:
“Waktu itu, sekitar tahun 1910 Masehi, daerah di sekitar desa-desa tersebut boleh dikata masih lebat hutannya. ... (2011: 36)
 “Seperti di tempat-tempat lain di Jawa, tentara Jepang masuk dan menguasai Wanagalih dengan mudah. (2011: 135)
“Zaman revolusi ternyata adalah kepanjangan penderitaan zaman Jepang. Bedanya tentu zaman Jepang adalah penderitaan orang yang dijajah dengan sangat kejam oleh negeri yang sedang perang, sedang penderitaan zaman revolusi adalah penderitaan yang memang diniati oleh bangsa yang ingin punya negara merdeka.” (2011: 209)
c) Latar Sosial
            Latar sosial yang menonjol dalam Para Priyayi adalah latar status sosial tokoh Sastrodarsono yang merupakan tokoh utama dan membuka jalan cerita yang panjang. Kenaikan status sosialnya dalam masyarakat begitu mengagumkan bagi keluarga besarnya. Karena mendapat beslit guru bantu, ia berhasil menjadi seorang priyayi, meskipun hanya menjadi priyayi tingkat rendah. Seperti dalam kutipan berikut ini.
“Hari itu saya, Soedarsono, anak tunggal Mas Atmokasan, petani Desa Kedungsimo, pulang dari Madiun dengan berhasil mengantongi beslit guru bantu di Ploso. Guru bantu. Itu berarti sayalah orang pertama dalam keluarga besar kami yang berhasil menjadi priyayi, meskipun priyayi yang paling rendah tingkatannya.” (2011: 32)

C.  Sudut Pandang                                                                  
Sudut pandang pengarang dalam novel ini adalah sudut pandang orang Pertama. Sudut pandang orang pertama ini terlihat pada setiap episode cerita. Pengarang bertindak sebagai orang pertama yang sedang menuturkan pengalamannya. Sudut pandang ini menempatkan pengarang sebagai “saya” atau “aku” dalam cerita. Pada bagian Lantip, pengarang menjadi Lantip, pada bagian Sastrodarsono, pengarang menjadi Sastrodarsono, begitupula seterusnya. Ini suatu cara bercerita yang menarik karena pengarang menjadi beberapa tokoh sekaligus dalam satu rangkaian cerita.
         Begitulah, tokoh-tokoh dalam Para Priyayi yang bertindak sebagai pencerita, terus berlanjut ganti-berganti secara konsisten. Oleh karena yang digunakannya bentuk pencerita akuan (saya), maka secara efektif terasa lebih dekat pada model catatan biografis—atau autobiografis—dari masing-masing tokohnya.[8]

D.  Gaya Bahasa
         Novel ini penuh dengan idiom dan ungkapan serta kata-kata Jawa, yang tentu tidak dapat dihindari oleh penulis yang berusaha melarutkan diri pada setiap tokoh yang hendak dihidupkannya.[9]
“Dan panjenengan Ndoro Guru Kakung miwah putri. Apa yang dapat saya katakan selain rasa terima kasih saya yang tulus dan utang budi yang tidak akan mungkin pernah lunas hingga akhir hayat saya. Saya akan kembali ke Wanagalih, ke dalem Setenan, ke bawah perlindunganmu, berbakti kepada seluruh keluargamu. Umpatanmu yang sekali-kali kau lontarkan, “anak maling, perampok, gerombolan kecu”, tidak akan mungkin menyakiti saya lagi. Bahkan sebaliknya akan memperkokoh semangat saya untuk menjunjung keluarga Sastrodarsono. Mukul duwur mendhem jero, menjunjung tinggi-tinggi keharuman nama keluarga, menanam dalam-dalam aib keluarga ... (2011: 132-133)

E.  Alur/Plot
Secara umum, alur novel Para Priyayi adalah alur campuran, menggunakan alur maju yang dicampur dengan alur mundur. Oleh karena itu, setiap episode membentuk alurnya sendiri-sendiri, tahapan alur tidak dapat digambarkan secara jelas.
Berikut ini adalah tahapan alur novel Para priyayi secara umum dilihat dari sisi tokoh utama:
*Tahap Awal (Perkenalan)
Tahap ini melukiskan latar tempat yang menjadi pusat cerita dalam novel ini, yaitu Wanagalih. Pada bagian yang berjudul “Wanagalih” (hlm. 1—8) dan “Lantip” (9—28), misalnya, diceritakan perihal yang bersangkut pula dengan keadaan alam Desa Wanagalih. Yang bertindak sebagai pencerita adalah Lantip yang sudah dewasa (1—8). Bagian berikutnya, yang bercerita masih tokoh Lantip, tetapi menyangkut diri Lantip yang masih kanak-kanak hingga ikut keluarga Sastrodarsono.
*Tahap Pemunculan Konflik
Pemunculan konflik ini dapat dilihat ketika Sastrodarsono mengalami konflik intern tentang penentuan sikap kepriyayiannya. Ketika ia bersimpati pada tokoh Martoatmodjo, seorang tokoh pergerakan. Ia harus melakukan sesuatu. Atas nasihat Martoatmodjolah, ia mendirikan sekolah di Wanalawas yang pada akhirnya ditutup setelah mendapat teguran School Opziener karena dianggap menghidupkan sistem ”sekolah liar”. Padahal mendirikan sekolah itu ia sebut sebagai ideologi keluarga. Tetapi yang lebih memalukan adalah karena ulah Soenandar, Kemenakannya yang ia beri tanggung jawab. Soenandar menghamili Ngadiyem, seorang anak gadis Desa Wanalawas—tempat didirikanya “sekolah liar”. Selain mencoreng nama keluarga besarnya, hal ini juga menghancurkan seluruh reputasi kepriyayian Sastrodarsono.
*Tahap Klimaks (Penanjakan Konflik)             
            Sastrodarsono ditempeleng Tuan Sato dari kantor pemerintahan daerah. keputusannya pensiun dan tidak mau membungkukkan badan menghadap ke utara setiap pagi untuk menyembah dewa matahari, Sastrodarsono dianggap tidak menghormati Jepang,. Padahal bukan itu permasalahannya, Sastrodarsono merasa tidak sanggup membungkuk karena usianya yang telah senja.
*Tahap Peleraian
            Setelah peristiwa penempelengan itu, Ngaisah mengirimkan surat kepada ketiga anaknya untuk pulang ke Wanagalih. Kedatangan mereka adalah obat yang mujarab bagi Sastrodarsono. Ia merasa lebih baik.
Ketika usia Sastrodarsono delapan puluh tahun, Ngaisah meninggal dunia. Sastrodarsono pun sakit karena usianya sudah lanjut yakni 83 tahun.
*Tahap Penyelesaian
Sasrodarsono mengalami kemunduran pada kesehatannya. Ketika ia ikut menyaksikan pohon nangka yang merupakan saksi perjalanan hidup keluarga besarnya, ia pingsan hingga akhirnya meninggal dunia setelah semua keluarganya berkumpul. Di akhir cerita, Lantip berpidato sebagai perwakilan dari keluarga besar Sastrodarsono.
F.  Tema
Tema yang diangkat dalam novel Para priyayi mengenai kehidupan keluarga besar priyayi Jawa dan masalah-masalah yang ada didalamnya. Terutama masalah pendidikan yang ikut menentukan status sosial dan mengangkat martabat seseorang dalam masyarakat.
Pendidikan ikut menentukan kepriyayian seseorang, juga kesanggupannya mengejawantahkan status kepriyayian itu dalam kehidupan ini, terutama mempertanggungjawabkannya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
“... semangat kerukunan dan persaudaraan itu yang terpenting ...semangat pengabdian kepada masyarakat wong cilik. ... perjalanan mengabdi pada masyarakat banyak, terutama wong cilik, tidak akan ada habisnya. (2011: 333-335)[10]

G.  Amanat
         Amanat yang dapat kita petik adalah bagaimana sebenarnya seorang yang dikatakan "priyayi" yaitu seorang yang dapat mengayomi keluarga dan rakyat miskin. Memiliki pendirian yang kokoh dan berjuang keras tanpa pamrih. Selalu menjaga nama baik keluarga "Mikul duwur, Mendem jero" (menjunjung tinggi nama baik, mengubur dalam aib keluarga).



BAB IV
ANALISIS NOVEL PARA PRIYAYI MELALUI PENDEKATAN PRAGMATIK
Umar Kayam yang dalam peta kesusastraan Indonesia mencuat namanya—terutama—karena dua cerpen panjangnya Sri Sumarah dan Bawuk (1975) serta beberapa cerpen lainnya yang dimuat di Majalah Horison, sekarang telah menghasilkan novel pertamanya, Para Priyayi (Pustaka Utama Grafiti, 1992). Novel yang tebalnya 308 halaman ini ternyata mengundang tanggapan yang ramai.
Sapardi Djoko Damono dalam resensinya (Tempo, 20 Juni 1992) menyebut novel ini sebagai novel esai yang menyerupai album besar.
Menurut Daniel Dhakidae, Para Priyayi memberikan penyelesaian terhadap krisis kekuasaan dengan cara yang sangat berbeda: kembali ke dunia-dalam, nembang, kehalusan budi. Namun, mereka juga tahu bahwa kembali ke dunia dalam hanya meredam , tetapi tidak menyelesaikan krisis yang diberikan oleh power game.[11]
 Menurut M. Shoim Anwar, novel ini memang sangat bagus dalam ukuran kontekstual pembaca yang menguasai bahasa Jawa. Tetapi, untuk pembaca yang tidak menguasai bahasa Jawa, barangkali mereka akan terganggu untuk menikmati cerita ini secara lancar. [12]
Persepsi para kritikus dan peneliti majalah di atas dapat digolongkan menjadi kelompok yang bernegoisasi, yaitu cenderung menerima tetapi juga mengkritisi. Berkaitan dengan pendapat Sapardi Djoko Damono dalam resensinya (Tempo, 20 Juni 1992) menyebut novel ini sebagai novel esai yang menyerupai album besar sebenarnya Para Priyayi lebih menyerupai “kumpulan” cerita yang membentuk satu kesatuan cerita. Alur ceritanya sendiri dikembangkan oleh sedikitnya delapan pencerita, dan masing-masing pencerita merangkaikan peristiwanya sendiri, yaitu pencerita tokoh Lantip, Sastrodarsono, Hardoyo, Noegroho, Harimurti, dan para istri –Ngaisah, Soemini, dan Sus. Lengkapnya, Para Priyayi terdiri atas sepuluh bagian cerita yang saling berkaitan dan saling melanjutkan—melengkapi. Dalam hal penyelesaian terhadap krisis kekuasaan sebenarnya jelas hanya dapat diatasi oleh manajemen kekuasaan dengan suatu sistem permainan yang lain. Selain itu, perihal yang menjadi persoalan bagi pembaca adalah mengenai penggunaan kata-kata, idiom, dan ungkapan Jawa yang terasa agak mengganggu hingga pada akhirnya memberi dampak kurang merasa puas setelah membaca dan memahami novel yang sarat akan makna sosial—budaya ini. Seharusnya pengarang memberikan semacam glosarium atau catatan kaki agar pembaca yang tidak menguasai bahasa Jawa dapat memahami secara komprehensif. Akan tetapi, itulah keunikan Para Priyayi karya Umar Kayam. Sifatnya yang multidimensional mampu mengundang tanggapan yang turut serta meramaikan diskusi para pembaca.

 

BAB IV
PENUTUP
SIMPULAN
   Novel Para Priyayi memiliki unsur intrinsik yang masih konvensional. Meskipun ada sedikit pembaruan yang dilakukan oleh pengarang dalam waktu cerita yang panjang. Para Priyayi menghadirkan tokoh keluarga besar yang berstatuskan “priyayi” dengan sudut penceritaan akuan sertaan sebagai pencerita pada setiap babnya. Masing-masing tokoh menceritakan pengalamannya. Alur campuran yang digunakan pengarang juga melengkapi cerita tokoh yang satu dengan yang lainnya. Tema yang diangkat dalam novel Para Priyayi mengenai kehidupan keluarga besar priyayi Jawa dan masalah-masalah yang ada didalamnya. Terutama masalah pendidikan yang ikut menentukan status sosial dan mengangkat martabat seseorang dalam masyarakat.
Dalam analisisnya melalui pendekatan pragmatik terdapat beberapa persepsi kritikus yang cenderung menerima tetapi juga mengkritisi (negoisasi). Salah satunya, novel ini memang kental akan kebudayaan Jawa sehingga pengarang mengukuhkan kekayaan kultur Jawa dengan menggunakan idiom-idiom bahasa Jawa dalam novel tanpa glosarium yang pada hakikatnya dapat membantu pembaca memahami karyanya. Akan tetapi, itulah keunikan Para Priyayi karya Umar Kayam. Sifatnya yang multidimensional mampu mengundang tanggapan yang turut serta meramaikan diskusi para pembaca.


DAFTAR PUSTAKA

Anwar, M. Shoim. 10 Juni 1992. Sesungguhnya Saya tidak Pernah Tahu, Pak De, Umar Kayam di Antara Para Priyayi. Surabaya: Jawa Post.
Ayupunyakarya.blogspot.com, analisis novel para priyayi, diposkan 23 Januari 2010.
Biografi Umar Kayam diakses 10 April 2012 http//www.biografiumarkayam.web.id

Dhakidae, Daniel. 11 Juli 1992. Kekuasaan dan Perlawanan dalam Novel Para Priyayi. Jakarta: Majalah Kompas.

Erneste, Pamusuk. 1988. Ikhtisar Kesusastraan Modern. Jakarta: Djambatan

Kayam, Umar. Cet.XIII, 2011. Para Priyayi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Mahayana, Maman S. 2007.  Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Siswanto, Wahyudi. 208. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo.
Suhardi. 11 Juli 2008. Novel Para Priyayi Sebuah Potret Wajah Bangsa Indonesia. Jawa Tengah: Majalah Talenta.
Suwarno, P.J. 1992. Novel Multidimensional. Yogyakarta: Majalah Basis.




[1] Suhardi, dalam artikel yang berjudul Novel Para Priyayi Sebuah Potret Wajah Bangsa Indonesia (Jawa Tengah: majalah Talenta), diposkan Jumat, 11 Juli 2008.
[2] Maman S Mahayana, Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 275.
[3] Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 190.
[4] Pamusuk Erneste, Ikhtisar Kesusastraan Modern (Jakarta: Djambatan, 1988), hlm. 163.
[5] Biografi Umar Kayam, diakses pada 10 April dari http//www.biografiumarkayam.web.id
[6] Umar Kayam, Para Priyayi (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, Cet.XIII, 2011).
[7] ayupunyakarya.blogspot.com, analisis novel para priyayi, diposkan 23 Januari 2010.

[8] Maman S Mahayana, Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 296
[9] P.J Suwarno, Novel Multidimensional (Yogyakarta: Majalah Basis, 1992), hlm. 389.
[10] Maman S Mahayana, Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 288.
[11] Dalam artikel yang berjudul “Kekuasaan dan Perlawanan dalam Novel Para Priyayi” (Jakarta: Kompas, 11 Juli 1992), hlm. 3.
[12] Dalam artikel yang berjudul “Sesungguhnya Saya tidak Pernah Tahu, Pak De” Umar Kayam di Antara Para Priyayi (Surabaya: Jawa Post, 10 Juni 1992), hlm. 2.

1 komentar:

  1. Mango Habanero (Mapysro) - Find Casinos Near Me
    Find 충주 출장샵 Casinos 영주 출장마사지 Near Me near me in New Jersey. Get 당진 출장안마 directions, reviews and 청주 출장샵 information for Mango Habanero (Mapysro) 안산 출장안마 in New Jersey.

    BalasHapus