BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Priyayi
adalah kelompok sosial yang sejak tahun 1900-an menjadi elit birokrasi
pemerintah. Orang-orang inilah yang menduduki berbagai jabatan pemerintahan.
Merekalah yang memimpin, mengatur, memberi pengaruh, dan menuntun masyarakat.
Semua orang yang duduk dalam jabatan administrasi pemerintah, para pegawai
pemerintahan, dan orang-orang yang berpendidikan digolongkan kaum priyayi.
Mula-mula, priyayi adalah mereka yang memiliki garis keturunan dengan raja atau
adipati (dalam bahasa Jawa, priyayi adalah para yayi atau para adik
raja). [1]
Para Priyayi memiliki kedudukan yang penting
dalam peta novel Indonesia modern. Secara intrinsik, Para Priyayi sebenarnya tidaklah menyodorkan pembaruan yang
radikal. Artinya, bahwa Para Priyayi
masih tergolong sebagai novel yang konvensional. Meskipun demikian, usaha Umar
Kayam yang nampaknya hendak merumuskan semacam sintesis, baik yang menyangkut
tema citra manusia Jawa, maupun unsur intrinsik lainnya yang pernah digarap
para sastrawan Indonesia, Para Priyayi dapat
dikatakan menampilkan sesuatu yang “baru” dalam hal pengambilan waktu cerita
yang begitu panjang.[2] Melalui
novel pertamanya ini, Kayam ingin menyampaikan bahwa seseorang disebut priyayi
bukan hanya karena kedudukan dan kekayaannya.
Berbagai tanggapan ikut
meramaikan novel pertama karya Umar Kayam yang berjudul Para Priyayi ini, sehingga mendorong kami mengkaji novel Para Priyayi karya Umar Kayam dengan
menggunakan pendekatan pragmatik. Selain itu, mengkaji novel Para Priyayi karya Umar Kayam merupakan
tugas kelompok mata kuliah Kajian Prosa.
Pendekatan pragmatik
adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap peranan
pembaca dalam menerima, memahami, dan menghayati karya sastra.[3]
Dari pengkajian karya sastra melalui pendekatan pragmatik ini, semoga kita bisa
menikmati dan memanfaatkan (Dulce et
Utile) karya sastra, khususnya makna yang tersurat ataupun tersirat dalam Para Priyayi bagi kehidupan kita.
B.
Rumusan Masalah
-
Bagaimana
memahami unsur-unsur intrinsik novel Para
Priyayi karya Umar Kayam?
-
Bagaimana
memahami novel Para Priyayi karya
Umar Kayam melalui pendekatan pragmatik?
C.
Tujuan Penulisan
-
Dapat
memahami unsur-unsur intrinsik novel Para
Priyayi karya Umar Kayam.
-
Dapat
memahami novel Para Priyayi karya
Umar Kayam melalui pendekatan pragmatik.
BAB II
BIOGRAFI
PENGARANG
Umar Kayam lahir pada 30 April 1932 di Ngawi,
Jawa Timur. Ia menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Pedagogik Universitas
Gadjah Mada (1955). Ia memulai kariernya sebagai karyawan Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan RI (1956-1959). Ia memperoleh gelar doctor dari Cornell
University, Ithaca (1965). Seusai memperoleh gelar doktor di Amerika, pada
tahun 1966 ia menjabat sebagai Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film
(Dirjen RTF) Departemen Penerangan RI di Jakarta (1966-1969). Ia menjadi ketua
DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) (1969-1972).[4]
Umar Kayam tidak melupakan darah
keluarganya sebagai seorang guru dan pendidik. Pada tahun 1972, Kayam menjadi
dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, dosen luar biasa untuk mata kuliah
Sosiologi Pendidikan pada Fakultas Ilmu Sosial UI (1970-1974), dan dosen untuk
mata kuliah Sosiologi Kesenian pada Fakultas Sastra UI (1974-1975). Dari
Departemen Penerangan ia dikembalikan sebagai pegawai senior di Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan menjabat Direktur Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu
Sosial di Ujung Pandang (1975-1976) sekaligus dosen mata kuliah Sosiologi
Pendidikan pada Fakultas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Hasanuddin (1976). Ia
juga menjadi dosen tamu Fullbright di Indonesian Studies Summer
Institute, University of Wisconsin, Madison Amerika Serikat (1977).
Pada tahun 1977,
pihak Universitas Gadjah Mada memberi amanat kepada Umar Kayam dan
rekan-rekannya untuk mendirikan Pusat Penelitian Kebudayaan UGM Yogyakarta.
Umar Kayam diserahi tugas memimpin lembaga tersebut selama dua puluh tahun
sampai 1997. Pada tahun-tahun inilah ia merasa ‘pulang kandang’. Sekaligus
mengabdikan ilmunya di kampus di mana ia dibesarkan, Universitas Gadjah Mada.
Ia menjadi dosen di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta di
Jurusan Sastra Indonesia dan Sastra Inggris (1977-1997).
Dalam bidang seni
peran, Kayam pernah menjadi aktor dalam film ‘Karmila’, ‘Kugapai Cintamu’, ‘Pengkhianatan
G 30S/PKI, ‘Jakarta 66’, dan ‘Canthing’. Dalam film ‘Pengkhianatan G 30 S/PKI’
ia memerankan tokoh Sukarno. Umar Kayam juga menulis skenario untuk film ‘Yang
Muda Yang Bercinta’, ‘Jago’, dan ‘Frustasi Puncak Gunung’. Umar Kayam pernah
menjadi Ketua Dewan Juri Festival Film Indonesia. Selain itu, Umar Kayam sempat
pula menjadi pengelola kesenian sebuah hotel di Bali.
Ia lebih banyak
dikenal sebagai seorang sastrawan dan budayawan. Karyanya meliputi cerpen,
novel, esai-esai kesenian dan kebudayaan. Khususnya, ia menaruh perhatian pada
kebudayaan Jawa. Karya-karya fiksinya dianggap mempunyai makna baru dalam dunia
kesusastraan. Ia dikelompokkan sebagai sastrawan angkatan ’70-an. Angkatan
dengan corak atau kekhasan berupa penceritaan yang kokoh, tanpa banyak disertai
pandangan-pandangan pribadi.[5]
Kayam pernah menjadi
anggota Akademi Jakarta dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Ia wafat pada
16 Maret 2002, ia meninggalkan sejumlah karya tulis yang diterbitkan Pustaka
Utama Grafiti, di antaranya Mangan Ora
Mangan Kumpul (kumpulan kolom, 1990), Jalan
Menikung (novel, 1999), dan Seribu
Kunang-kunang di Manhattan (kumpulan cerpen, 2003).[6]
SINOPSIS
Soedarsono anak keluarga buruh tani yang oleh sanak
saudaranya diharapkan menjadi "pemula" untuk membangun keluarga
priyayi. Berkat dorongan Asisten Wedana Ndoro Seten, ia dapat sekolah dan
menjadi seorang guru. Disinilah ia mulai menapaki dunia priyayi pangreh praja.
Soedarsono memiliki tiga orang anak, Noegroho (Opsir Peta), Hardojo (Guru), dan
Soemini (istri Asisten Wedana). Karena hidup berkecukupan, Soedarsono merasa
wajib membantu sanak saudaranya yang tidak mampu, dibawalah tiga keponakannya
(Sri, Soedarmin, dan Soenandar) untuk ikut tinggal dan di sekolahkan di
Wanagalih. Salah satu keponakannya, Soenandar memiliki perangai yang berbeda
dengan yang lain, ia jail, nakal, dan selalu gagal dalam belajar.
Suatu
ketika Seodarsono yang telah berganti nama menjadi Sastrodarsono, mengutus
Soenandar untuk mengurus sekolah yang didirikannya di Wanalawas, diharapkan
agar Soenandar lebih mandiri dan dapat bertanggung jawab. Akan tetapi, Soenandar justru menghamili anak penjual tempe,
Ngadiyem, dan akhirnya kabur. Lahirlah Wage yang kemudian diboyong ke
wanagalih, dirawat dan disekolahkan, kemudian diganti namanya menjadi Lantip.
Ia sangat cerdas, sopan, dan sangat menghormati orang tua. Lantip diangkat
sebagai anak oleh Hardojo yang hanya memiliki satu anak bernama Harimurti.
Suatu ketika Hari terjebak dalam pergaulannya di Lekra. Ia menjadi buron karena
dianggap sebagai anggota Lekra yang berbau PKI. Hari sempat masuk penjara, tetapi
berkat usaha pamannya, Noegroho, ia berhasil dibebaskan dengan syarat dan
jaminan. Gadis, kekasih Hari yang sedang mengandung anak Hari ikut tertangkap
dan dipenjara. Hingga akhirnya ia dan anaknya meninggal dunia beberapa hari
sebelum keluarga datang untuk memberikan jaminan agar ia bisa bebas. Lantip
tampil untuk mengembalikan jalan pikiran Hari. Ia juga yang mengurus segala
masalah Marie, Putri paman Noegroho yang hamil di luar nikah.
Lantip
akhirnya menikah dengan gadis Padang bernama Halimah. Lantip masih saja menjadi
penengah keluarga Sastrodarsono sampai Eyang putri dan Embah kakung wafat, dan
sampai seterusnya ia menjadi harapan keluarga. Lantiplah yang sebenar-benarnya
menegaskan makna priyayi, pengabdian pada wong cilik, berkat pemikirannya yang
rasional.[7]
BAB III
UNSUR-UNSUR
INTRINSIK
A. Tokoh
dan Penokohan

Digambarkan
sebagai tokoh yang sabar, rajin, taat, dan ulet. Selain itu, ia juga cekatan
dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Ketika itu Lantip masih kecil dan baru saja
ikut Sastrodarsono, tetapi Lantip sudah dapat mengerjakan tugas-tugasnya dengan
baik. Lantip adalah tokoh yang dapat diandalkan oleh seluruh keluarga besar
Sastrodarsono dan suka menolong.
“Wah, wong anak desa
sekecil kamu, kok ya cepet belajar mengatur rumah priyayi, lho,” kata Lik Paerah.
(2011: 21)

Sastrodarsono digambarkan sebagai
tokoh yang patuh atau menurut saran dari orang tua. Sifat ini dapat dilihat
ketika ia diberi nama tua. Selain itu, ketika orang tua Sastrodarsono
memilihkan jodoh untuknya, ia pun menerimanya dengan kepatuhan.
“Karena itu sudah sepantasnya
kamu menyandang nama tua, Le. Nama Soedarsono, meskipun bagus, nama
anak-anak. Kurang pantas untuk nama tua. Namamu sekarang Sastrodarsono. Itu
nama yang kami anggap pantas buat seorang guru karena guru akan banyak menulis
di samping mengajar. Sastro rak artinya tulis to, Le?” Saya
mengangguk, menerima dan menyetujui, karena pada saat seperti itu hanya itulah
yang dapat saya lakukan. “Inggih, Pak.” (2001: 39)

Ngaisah adalah istri yang selalu
setia kepada suaminya. Ngaisah sering digoda anak dan menantunya tentang
kebaktiannya yang dianggap terlalu berlebihan kepada suami. Akan tetapi, ia
tidak pernah mengubah sikap terhadap suaminya.
“Orang jawa mengatakan istri
adalah garwa, sigarane nyawa, yang berarti belahan jiwa. Maka
sebagai belahan jiwa bukankah saya mesti tidak boleh berpisah dari belahan yang
satu lagi?” (2011: 227)

Noegroho memiliki sikap pasrah, tabah, dan ikhlas.
Sikap ini ditunjukkan ketika anaknya yang pertama meninggal dunia karena
tertembak tentara Belanda yang sedang patroli. Selain itu, sikap pasrah
Noegroho ditunjukkan ketika ia mengetahui bahwa Lantip diangkat anak oleh
Hardojo.
“Iya, iya, Bu. Sing sabar
ya, Bu. Ikhlas, Bu, kita ikhlaskan anak kita pergi ya, Bu. Kalian juga ya,
Marie dan Tommi, ikhlaskan kamas-mu pergi.” (2011: 223)
“… kemudian begitu saja keluar
dari mulut saya: Bapak ikhlas, Le.” (2011: 224)

Hardojo
adalah orang yang cerdas. Keberhasilannya dalam meniti karier tidak terlepas
dari modal kualitas tokoh tersebut.
“HARDOJO, anak saya
yang kedua, mungkin adalah anak saya yang paling cerdas dan mungkin paling
disenangi orang. Soemini sangat sayang kepadanya. Noegroho, yang cenderung
paling serius dari semua anak-anak saya, juga sangat dekat dengan adiknya itu,
dan kami orangtuanya selalu bisa dibikin menuruti kemauannya”. (2011:102)

Bandel,
keras kepala, selalu ingin dituruti kemauannya. Ketika dewasa menjadi penurut
dan sangat mementingkan pendidikan.
“Saya
baru ingat waktu itu bahwa Soemini sejak kecil memang bisa bandel dan keras kepala.
Kalau punya kemauan selalu minta segera dituruti. ...” (2011: 86)
“Saya
mau sekolah dulu di Van Deventer School.
Selesai itu baru saya bersedia jadi istri
Kamas Harjono.” (2011: 86)

Harimurti
sangat sayang dengan orang tuanya walaupun kadang berbeda pandangan, ia tetap
menghormati orang tuanya. Ia juga memiliki sifat yang jujur dan tulus. Baginya
kejujuran dan ketulusan lebih penting daripada gaya penampilan.
“Saya diam tidak
berusaha meneruskan perdebatan dengan orang tua saya. Jelas kami sudah berbeda
pandangan. Dan perbedaan itu memang menandakan perbedaan pandangan antara
angkatan yang lain. Bagi mereka mungkin yang terpenting adalah gaya penampilan
karena itu dipandang sebagai pancaran jiwa dalam. Bagi saya tidak. Bagi saya
kejujuran dan ketulusan lebih penting. Gaya penampilan dapat dikembangkan
sambil berjalan”.
(2011: 293)
B. Latar/Setting
a) Latar tempat

Wanagalih
merupakan tempat tinggal Sastrodarsono dan Ngaisah. Tempat ini merupakan pusat
berkumpulnya seluruh anggota keluarga Sastrodarsono. Hal ini dapat dilihat dari
petikan di bawah ini.
“Keputusan kami untuk bertempat
tinggal di Wanagalih dan tidak di desa saya bekerja, yaitu di Karangdompol,
adalah juga atas nasihat Ndoro eh, Romo Seten Kedungsimo yang didukung
oleh mertua saya Romo Mukaram.” (2011:
52)

Wanalawas merupakan
tempat Sastrodarsono mendirikan sekolah bantu untuk warga Wanalawas agar mereka
dapat membaca dan menulis.
“Akhirnya
semua persiapan untuk sekolah itu selesai juga. Semua perlengkapan, meski
sangat sederhana, tersedia. Bangku dan meja secara gotong royong dibuat oleh
orang-orang Wanalawas dengan alat-alat sederhana dan dari kayu-kayu yang
didapat di sekitar Wanagalih.”

Wonogiri
sendiri merupakan tempat mengajar Hardojo. Hardojo berada di Wonogiri selama
dua tahun. Beliau juga mendapatkan istri yang berasal dari daerah
Wonogiri. Inilah salah satu cuplikannya.
“Tempat saya mengajar di HIS Wonogiri,
yang berjarak lebih kurang tiga puluh kilometer dari kota solo….” (2011: 151)

Solo
merupakan tempat bekerja Hardojo setelah mendapat tawaran menjadi abdi dalem
Mangkunegaran. Hardojo mengurusi bidang pendidikan orang dewasa dan gerakan pemuda.
Oleh karena itu, seluruh daerah yang berada di bawah kerajaan Mangkunegaran ia
datangi.
“… untuk akhirnya waktu menjelang
masuk stasiun Sangkrah di Solo hanya wajah Sumantri saja yang terbayang.”(2011:
171)

Yogyakarta
merupakan tempat tinggal keluarga Noegroho sebelum pindah ke Jakarta. Pada masa
penjajahan Belanda, ia bekerja sebagai guru HIS di Jetis Yogyakarta. Selain
itu, Hardojo juga tinggal di Yogyakarta setelah ia kecewa dengan sikap
Mangkunegaran yang memihak Belanda.
“Kami pun lantas untuk sementara
pindah lagi ke Yogya ke rumah ibu Sus, yang menetap di Yogya sejak pensiunnya
di Semarang. Rumah itu tidak berapa besar, di bilangan Jetis, tidak jauh dari
bekas sekolah dasar, tempat saya mengajar dulu.” (2011: 207)

Jakarta
merupakan tempat tinggal keluarga Noegroho. Ketika keluarga Noegroho terkena
musibah, Marie hamil di luar nikah, Lantip ditugasi oleh Sastrodarsono dan
Ngaisah untuk ikut Sus ke Jakarta dan membantu menyelesaikan permasalahan
tersebut. Selain itu, keluarga Soemini, anak Sastrodarsono yang ketiga, juga
tinggal di Jakarta.
“Bagi mereka berdua yang
terpenting akad nikah itu akhirnya sudah berlalu dengan selamat dan direstui
oleh hadirnya semua anggota keluarga besar yang pada datang berkumpul di
Jakarta.” (2011: 278)
b) Latar
Waktu
Latar waktu novel ini diawali pada masa
penjajahan Belanda kemudian pendudukan Jepang, awal kemerdekaan hingga
pemberontakan PKI. Tahun 1910 cerita ini dimulai, Sastrodarsono mulai
menapakkan kakinya ke jenjang priyayi. Pada masa ini adalah masa penjajahan
Belanda. Tiga puluh tahun kemudian adalah masa pendudukan Jepang dan revolusi,
tokoh yang muncul dalam cerita ini adalah anak-anak Sastrodarsono. Noegroho
menjadi anggota tentara, Hardojo menjadi abdi dalem di Mangkunegaran, dan Soemini
menjadi istri asisten wedana. Cita-cita Sastrodarsono untuk membangun keluarga
priyayi dapat dikatakan berhasil.
Dapat dilihat kutipan sebagai berikut:
“Waktu
itu, sekitar tahun 1910 Masehi, daerah di sekitar desa-desa tersebut boleh
dikata masih lebat hutannya. ...” (2011: 36)
“Seperti di tempat-tempat lain di Jawa,
tentara Jepang masuk dan menguasai Wanagalih dengan mudah.” (2011: 135)
“Zaman revolusi ternyata adalah
kepanjangan penderitaan zaman Jepang. Bedanya tentu zaman Jepang adalah
penderitaan orang yang dijajah dengan sangat kejam oleh negeri yang sedang
perang, sedang penderitaan zaman revolusi adalah penderitaan yang memang diniati
oleh bangsa yang ingin punya negara merdeka.” (2011: 209)
c) Latar Sosial
Latar sosial yang menonjol dalam Para Priyayi adalah latar status sosial
tokoh Sastrodarsono yang merupakan tokoh utama dan membuka jalan cerita yang
panjang. Kenaikan status sosialnya dalam masyarakat begitu mengagumkan bagi
keluarga besarnya. Karena mendapat beslit guru bantu, ia berhasil menjadi
seorang priyayi, meskipun hanya menjadi priyayi tingkat rendah. Seperti dalam
kutipan berikut ini.
“Hari itu saya, Soedarsono, anak
tunggal Mas Atmokasan, petani Desa Kedungsimo, pulang dari Madiun dengan
berhasil mengantongi beslit guru bantu di Ploso. Guru bantu. Itu berarti
sayalah orang pertama dalam keluarga besar kami yang berhasil menjadi priyayi,
meskipun priyayi yang paling rendah tingkatannya.” (2011: 32)
C. Sudut Pandang
Sudut pandang pengarang dalam novel ini adalah
sudut pandang orang Pertama. Sudut pandang orang pertama ini terlihat pada
setiap episode cerita. Pengarang bertindak sebagai orang pertama yang sedang menuturkan
pengalamannya. Sudut pandang ini menempatkan pengarang sebagai “saya” atau
“aku” dalam cerita. Pada bagian Lantip, pengarang menjadi Lantip, pada bagian
Sastrodarsono, pengarang menjadi Sastrodarsono, begitupula seterusnya. Ini
suatu cara bercerita yang menarik karena pengarang menjadi beberapa tokoh
sekaligus dalam satu rangkaian cerita.
Begitulah, tokoh-tokoh dalam Para Priyayi yang bertindak sebagai
pencerita, terus berlanjut ganti-berganti secara konsisten. Oleh karena yang
digunakannya bentuk pencerita akuan (saya), maka secara efektif terasa lebih
dekat pada model catatan biografis—atau autobiografis—dari masing-masing
tokohnya.[8]
D. Gaya Bahasa
Novel ini penuh dengan idiom dan
ungkapan serta kata-kata Jawa, yang tentu tidak dapat dihindari oleh penulis
yang berusaha melarutkan diri pada setiap tokoh yang hendak dihidupkannya.[9]
“Dan panjenengan Ndoro Guru Kakung miwah putri. Apa yang dapat saya
katakan selain rasa terima kasih saya yang tulus dan utang budi yang tidak akan
mungkin pernah lunas hingga akhir hayat saya. Saya akan kembali ke Wanagalih,
ke dalem Setenan, ke bawah perlindunganmu, berbakti kepada seluruh keluargamu.
Umpatanmu yang sekali-kali kau lontarkan, “anak maling, perampok, gerombolan kecu”, tidak akan mungkin menyakiti saya
lagi. Bahkan sebaliknya akan memperkokoh semangat saya untuk menjunjung
keluarga Sastrodarsono. Mukul duwur
mendhem jero, menjunjung tinggi-tinggi keharuman nama keluarga, menanam
dalam-dalam aib keluarga ... (2011: 132-133)
E. Alur/Plot
Secara
umum, alur novel Para Priyayi adalah alur campuran, menggunakan alur
maju yang dicampur dengan alur mundur. Oleh karena itu, setiap episode
membentuk alurnya sendiri-sendiri, tahapan alur tidak dapat digambarkan secara
jelas.
Berikut
ini adalah tahapan alur novel Para priyayi secara umum dilihat dari sisi
tokoh utama:

Tahap
ini melukiskan latar tempat yang menjadi pusat cerita dalam novel ini, yaitu Wanagalih.
Pada bagian yang berjudul “Wanagalih” (hlm. 1—8) dan “Lantip” (9—28), misalnya,
diceritakan perihal yang bersangkut pula dengan keadaan alam Desa Wanagalih.
Yang bertindak sebagai pencerita adalah Lantip yang sudah dewasa (1—8). Bagian
berikutnya, yang bercerita masih tokoh Lantip, tetapi menyangkut diri Lantip
yang masih kanak-kanak hingga ikut keluarga Sastrodarsono.

Pemunculan
konflik ini dapat dilihat ketika Sastrodarsono mengalami konflik intern tentang
penentuan sikap kepriyayiannya. Ketika ia bersimpati pada tokoh Martoatmodjo,
seorang tokoh pergerakan. Ia harus melakukan sesuatu. Atas nasihat
Martoatmodjolah, ia mendirikan sekolah di Wanalawas yang pada akhirnya ditutup
setelah mendapat teguran School Opziener karena
dianggap menghidupkan sistem ”sekolah liar”. Padahal mendirikan sekolah itu ia
sebut sebagai ideologi keluarga. Tetapi yang lebih memalukan adalah karena ulah
Soenandar, Kemenakannya yang ia beri tanggung jawab. Soenandar menghamili
Ngadiyem, seorang anak gadis Desa Wanalawas—tempat didirikanya “sekolah liar”.
Selain mencoreng nama keluarga besarnya, hal ini juga menghancurkan seluruh
reputasi kepriyayian Sastrodarsono.

Sastrodarsono ditempeleng Tuan Sato dari
kantor pemerintahan daerah. keputusannya pensiun dan tidak mau membungkukkan
badan menghadap ke utara setiap pagi untuk menyembah dewa matahari, Sastrodarsono
dianggap tidak menghormati Jepang,. Padahal bukan itu permasalahannya,
Sastrodarsono merasa tidak sanggup membungkuk karena usianya yang telah senja.

Setelah peristiwa penempelengan itu,
Ngaisah mengirimkan surat kepada ketiga anaknya untuk pulang ke Wanagalih.
Kedatangan mereka adalah obat yang mujarab bagi Sastrodarsono. Ia merasa lebih
baik.
Ketika
usia Sastrodarsono delapan puluh tahun, Ngaisah meninggal dunia. Sastrodarsono
pun sakit karena usianya sudah lanjut yakni 83 tahun.

Sasrodarsono
mengalami kemunduran pada kesehatannya. Ketika ia ikut menyaksikan pohon nangka
yang merupakan saksi perjalanan hidup keluarga besarnya, ia pingsan hingga
akhirnya meninggal dunia setelah semua keluarganya berkumpul. Di akhir cerita,
Lantip berpidato sebagai perwakilan dari keluarga besar Sastrodarsono.
F. Tema
Tema
yang diangkat dalam novel Para priyayi mengenai kehidupan keluarga besar
priyayi Jawa dan masalah-masalah yang ada didalamnya. Terutama masalah
pendidikan yang ikut menentukan status sosial dan mengangkat martabat seseorang
dalam masyarakat.
Pendidikan
ikut menentukan kepriyayian seseorang, juga kesanggupannya mengejawantahkan
status kepriyayian itu dalam kehidupan ini, terutama mempertanggungjawabkannya
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
“... semangat kerukunan dan
persaudaraan itu yang terpenting ...semangat pengabdian kepada masyarakat wong cilik. ... perjalanan mengabdi pada
masyarakat banyak, terutama wong cilik,
tidak akan ada habisnya. (2011: 333-335)[10]
G. Amanat
Amanat yang dapat kita petik adalah
bagaimana sebenarnya seorang yang dikatakan "priyayi" yaitu seorang
yang dapat mengayomi keluarga dan rakyat miskin. Memiliki pendirian yang kokoh
dan berjuang keras tanpa pamrih. Selalu menjaga nama baik keluarga "Mikul duwur,
Mendem jero" (menjunjung tinggi nama baik, mengubur dalam aib keluarga).
BAB
IV
ANALISIS
NOVEL PARA PRIYAYI MELALUI PENDEKATAN PRAGMATIK
Umar
Kayam yang dalam peta kesusastraan Indonesia mencuat namanya—terutama—karena
dua cerpen panjangnya Sri Sumarah dan Bawuk (1975) serta beberapa cerpen
lainnya yang dimuat di Majalah Horison,
sekarang telah menghasilkan novel pertamanya, Para Priyayi (Pustaka Utama Grafiti, 1992). Novel yang tebalnya 308
halaman ini ternyata mengundang tanggapan yang ramai.
Sapardi Djoko Damono dalam resensinya (Tempo,
20 Juni 1992) menyebut novel ini sebagai novel esai yang menyerupai album
besar.
Menurut Daniel Dhakidae, Para Priyayi memberikan penyelesaian terhadap krisis kekuasaan
dengan cara yang sangat berbeda: kembali ke dunia-dalam, nembang, kehalusan
budi. Namun, mereka juga tahu bahwa kembali ke dunia dalam hanya meredam ,
tetapi tidak menyelesaikan krisis yang diberikan oleh power game.[11]
Menurut
M. Shoim Anwar, novel ini memang sangat bagus dalam ukuran kontekstual pembaca
yang menguasai bahasa Jawa. Tetapi, untuk pembaca yang tidak menguasai bahasa
Jawa, barangkali mereka akan terganggu untuk menikmati cerita ini secara
lancar. [12]
Persepsi
para kritikus dan peneliti majalah di atas dapat digolongkan menjadi kelompok
yang bernegoisasi, yaitu cenderung menerima tetapi juga mengkritisi. Berkaitan
dengan pendapat Sapardi Djoko Damono dalam resensinya (Tempo, 20 Juni 1992)
menyebut novel ini sebagai novel esai yang menyerupai album besar sebenarnya Para Priyayi lebih menyerupai “kumpulan”
cerita yang membentuk satu kesatuan cerita. Alur ceritanya sendiri dikembangkan oleh sedikitnya
delapan pencerita, dan masing-masing pencerita merangkaikan peristiwanya
sendiri, yaitu pencerita tokoh Lantip, Sastrodarsono, Hardoyo, Noegroho,
Harimurti, dan para istri –Ngaisah, Soemini, dan Sus. Lengkapnya, Para Priyayi terdiri atas sepuluh bagian
cerita yang saling berkaitan dan saling melanjutkan—melengkapi. Dalam hal
penyelesaian terhadap krisis kekuasaan sebenarnya jelas hanya dapat diatasi
oleh manajemen kekuasaan dengan suatu sistem permainan yang lain. Selain itu,
perihal yang menjadi persoalan bagi pembaca adalah mengenai penggunaan
kata-kata, idiom, dan ungkapan Jawa yang terasa agak mengganggu hingga pada
akhirnya memberi dampak kurang merasa puas setelah membaca dan memahami novel
yang sarat akan makna sosial—budaya ini. Seharusnya pengarang memberikan
semacam glosarium atau catatan kaki agar pembaca yang tidak menguasai bahasa
Jawa dapat memahami secara komprehensif. Akan tetapi, itulah keunikan Para Priyayi karya Umar Kayam. Sifatnya
yang multidimensional mampu mengundang tanggapan yang turut serta meramaikan
diskusi para pembaca.
BAB
IV
PENUTUP
SIMPULAN
Novel Para
Priyayi memiliki unsur intrinsik yang masih konvensional. Meskipun ada
sedikit pembaruan yang dilakukan oleh pengarang dalam waktu cerita yang
panjang. Para Priyayi menghadirkan tokoh keluarga besar yang berstatuskan
“priyayi” dengan sudut penceritaan akuan sertaan sebagai pencerita pada setiap
babnya. Masing-masing tokoh menceritakan pengalamannya. Alur campuran yang
digunakan pengarang juga melengkapi cerita tokoh yang satu dengan yang lainnya.
Tema yang diangkat dalam novel Para Priyayi mengenai kehidupan keluarga
besar priyayi Jawa dan masalah-masalah yang ada didalamnya. Terutama masalah
pendidikan yang ikut menentukan status sosial dan mengangkat martabat seseorang
dalam masyarakat.
Dalam
analisisnya melalui pendekatan pragmatik terdapat beberapa persepsi kritikus yang
cenderung menerima tetapi juga mengkritisi (negoisasi). Salah satunya, novel
ini memang kental akan kebudayaan Jawa sehingga pengarang mengukuhkan kekayaan
kultur Jawa dengan menggunakan idiom-idiom bahasa Jawa dalam novel tanpa
glosarium yang pada hakikatnya dapat membantu pembaca memahami karyanya. Akan
tetapi, itulah keunikan Para Priyayi
karya Umar Kayam. Sifatnya yang multidimensional mampu mengundang tanggapan
yang turut serta meramaikan diskusi para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,
M. Shoim. 10 Juni 1992. Sesungguhnya Saya
tidak Pernah Tahu, Pak De, Umar Kayam di Antara Para Priyayi. Surabaya:
Jawa Post.
Ayupunyakarya.blogspot.com, analisis novel para
priyayi, diposkan
23 Januari 2010.
Biografi
Umar Kayam diakses 10 April 2012 http//www.biografiumarkayam.web.id
Dhakidae, Daniel. 11 Juli 1992. Kekuasaan dan Perlawanan dalam Novel Para
Priyayi. Jakarta: Majalah Kompas.
Erneste,
Pamusuk. 1988. Ikhtisar Kesusastraan
Modern. Jakarta: Djambatan
Kayam,
Umar. Cet.XIII, 2011. Para Priyayi.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Mahayana,
Maman S. 2007. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Siswanto, Wahyudi. 208.
Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT
Grasindo.
Suhardi. 11
Juli 2008. Novel Para Priyayi Sebuah
Potret Wajah Bangsa Indonesia. Jawa Tengah: Majalah Talenta.
Suwarno,
P.J. 1992. Novel Multidimensional. Yogyakarta:
Majalah Basis.
[1]
Suhardi,
dalam artikel yang berjudul Novel Para Priyayi Sebuah Potret Wajah Bangsa Indonesia (Jawa Tengah: majalah Talenta),
diposkan Jumat, 11 Juli 2008.
[2] Maman S
Mahayana, Ekstrinsikalitas Sastra
Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 275.
[3]
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm.
190.
[4]
Pamusuk Erneste, Ikhtisar Kesusastraan
Modern (Jakarta: Djambatan, 1988), hlm. 163.
[5]
Biografi Umar Kayam, diakses pada 10 April dari
http//www.biografiumarkayam.web.id
[6]
Umar Kayam, Para Priyayi (Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, Cet.XIII, 2011).
[8] Maman S
Mahayana, Ekstrinsikalitas Sastra
Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 296
[9]
P.J Suwarno, Novel Multidimensional
(Yogyakarta: Majalah Basis, 1992), hlm. 389.
[10] Maman S
Mahayana, Ekstrinsikalitas Sastra
Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 288.
[11] Dalam artikel yang berjudul “Kekuasaan dan Perlawanan dalam Novel
Para Priyayi” (Jakarta: Kompas, 11 Juli 1992), hlm. 3.
[12]
Dalam artikel yang berjudul “Sesungguhnya Saya tidak Pernah Tahu, Pak De” Umar
Kayam di Antara Para Priyayi (Surabaya: Jawa Post, 10 Juni 1992), hlm. 2.
Mango Habanero (Mapysro) - Find Casinos Near Me
BalasHapusFind 충주 출장샵 Casinos 영주 출장마사지 Near Me near me in New Jersey. Get 당진 출장안마 directions, reviews and 청주 출장샵 information for Mango Habanero (Mapysro) 안산 출장안마 in New Jersey.