Sabtu, 23 November 2013

Jiwa Qur’ani



  1. Jiwa yang Beriman
Sebagai makhluk psikofisik, manusia dalam meraih kesejahteraan hidupnya tidak hanya membutuhkan hal-hal yang bersifat materi, tetapi juga kebutuhan keamanan, kedamaian, kesentosaaan dan keselamatan. Dapat dikatakan bahwa sebuah jiwa disebut beriman manakala hati individu yang bersangkutan telah dimasuki hal-hal yang berhubungan dengan dimensi keimanan, seperti Allah, malaikat, para nabi, kitab-kitab-Nya dan hari akhir. Jadi iman merupakan persoalan hati, bukan persoalan jiwa. Jiwa yang beriman adalah jiwa yang tidak cenderung kepada tindakan-tindakan zhalim (aniaya). Karena pada dasarnya iman yang benar (al-iman al-shahih) tidaklah wajar dicampur dengan kezaliman. Jiwa yang beriman seharusnya melahirkan lebih banyak lagi tindakan-tindakan adil sebagai lawan dari tindakan-tindakan zalim. Perhatikan firman Allah: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan keimanan mereka dengan kezaliman (utamanya, syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat kedamaian dan keamanan, dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am/6: 82). Dengan demikian jiwa yang beriman ialah jiwa yang memilki sifat-sifat utama kepribadian (primary traits of personality).
  1. Jiwa yang Tenang
Jiwa manusia yang meliputi tiga kategori atau tingkatan, yaitu:
Pertama, disebut.al-nafs al- ammarah dalam surah Yusuf: 53/ jiwa tingkatan ini merupakan tingkatan rendah manusia yang cenderung memerintah/mendorong manusia berbuat keburukan. Jiwa kategori ini disebut pula al-nafs al-hayawaniyyah (jiwa hewan).
Kedua adalah jiwa yang disebut al-nafs al-lawwamah dalam surah al-qiyamah/75:2/. Jiwa kategori ini merupakan jiwa yang mencela atau menyalahkan diri sendiri.kategori ini tingkatannya lebih tinggi dari kategori pertama karena jiwa ini sanggup mencela dan menyalahkan diri sendiri memiliki harapan untuk menemukan kembali kebenaran dan mengikutinya. Inilah disebut al-nafs al-insaniyyah (jiwa insani).
Ketiga adalah jiwa yang disebut al-nafs al-muthma’innah (jiwa yang tenang) seperti disebut dalam surah al-fajr/89: 27.  Manusia yang memilki jiwa ini diindikasikan memilki karakteristik sebagai berikut:
1.Cenderung ingin kembali dan ingin dekat kepada Tuhan atau ingin sesuai dengan yang digariskan Tuhan dalam menempuh kehidupan.
2.Menerima dengan rela dan puas segala apa yang digariskan Allah kepadanya dan menjalankan semuanya dengan perasaan puas.
3.Batinnya tidak cemas , lagi bersedih. Karena merasa optimis untuk memperoleh rahmat Tuhan.
4.Kecendrungannnya bergabung dengan hamba-hamba Allah yang salih, untuk mencari kebaikan-kebaikan dan mencontoh keteladanan mereka.
5.Merasa mantap atas dasar iman yang benar, amal-amal salih yang nyata dan atas keyakinan bahwa semua pasti dibalas oleh Tuhan di akhirat.

  1. Jiwa yang rela
Kata “rela” berasal dari bahasa Arab, ridha. Artinya senang, sukacita, atau puas, puas dalam menerima segala yang diberi Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam perspektif tasawuf, ridha atau rela (puas) merupakan salah  satu maqam (stasion) yang ditempuh seorang sufi yang sedang mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Langkah menerima segala bagian dari Tuhan dengan jiwa puas sesungguhnya menyehatkan jiwa. Ridha atau rela yang telah kita lakukan walhasil akan dibalas ridha Allah nantinya. Di akhir surah Al-Bayinnah/98, Allah SWT menerangkan: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih, itulah mereka sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga-surga ‘Adn, yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah bagi orang yang takut kepada Tuhannya”.

D.  Jiwa yang Sabar
Jiwa yang sabar adalah jiwa yang dimilki oleh orang yang sabar. Dalam al-Qur’an al-karim, orang-orang sabar disebut al-shaabirun (orang-orang sabar). Secara etimologis sabar berasal dari bahasa Arab shabara yang arti dasarnya menahan (al-habs), seperti habs al-hayawan (mengurung hewan), menahan diri dan mengendalikan jiwa. Dalam al-Qur’an, ayat-ayat yang menunjukkan masalah sabar pada saat seseorang atau sekelompok orang yang ditimpa oleh hal-hal yang secara manusiawi tak menyenangkan. Selanjutnya, menurut pandangan Imam Ghazali mengenali lingkup wilayah aplikasi sabar, yang meliputi 3 (tiga) wilayah, yaitu:
·         Al-shabr fi al-thaa’ah (sabar dalam terus menerus menjalankan ketaatan),
·         Al-shabr ‘an al-ma’shiyyah (sabar dalam rangka menghindarkan diri dari maksiat), dan
·         Al-shabr ‘ala al-mushibah (tegar dan sabar dalam menghadapi musibah).
Sedangkan menurut Al-Qur’an lingkup aplikasi sabar, meliputi hal-hal yang berikut:
a)    Dalam hal ibadah, surah Maryam/19, ayat 65.
b)   Dalam menghadapi ejekan dan fitnahan orang kafir, surah thaha/20, ayat 130.
c)    Dalam menghadapi musibah. Surah Luqman/31, ayat 17.
d)   Dalam menanti ketetapan Allah SWT. Surah Al-Thuur, ayat 48.
e)    Dalam menunggu janji Allah. Surah Al-Ruum/30, ayat 60.
f)    Dalam memperoleh segala kebutuhan. Surah Al-Baqarah/2, ayat 153.
g)    Dalam rangka mendaptkan kekuatan yang berlipat. Surah Al-Anfal/8, ayat 65.

  1. Jiwa yang Tawakal
Kata “tawakal” berasal dari tawakkala-yatawakkalu –tawakkulan, yakni tawakkul. Dalam Al-Qur’an, objek tawakal adalah Tuhan sebaik-baiknya tempat bersandar, yaitu Allah SWT. Jadi jiwa yang tawakal adalah jiwa yang dalam setiap mengisi kehidupan, dalam perbuatan aspek apa pun dalam kehidupan, menyandarkannnya atau melaporkannya kepada Allah selaku Al-Wakil (Tuhan tempat bersandar), Tawakal merupakan pekerjaan jiwa, tentu hati juga. Sikap tawakal, selain akan menanamkan rasa optimisme dalam diri, juga akan menjauhkan manusia dari rasa kecewa dan putus asa. Apabila kita merasakan cinta dan kasih sayang Allah yang disertai rasa bersandar diri kepada-Nya. Niscaya akan timbul rasa optimis dalam berusaha, kita akan yakin bahwa rahmat-Nya meliputi segalanya.
  1. Jiwa yang Jujur
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia Kata “jujur” artinya “lurus hati”, “curang”, dan “disegani”. Orang yang berkata atau bersikap atau berbuat yang sebenarnya, sesuai dengan kata hatinya disebut orang jujur.
  1. Jiwa yang Amanah
Kata “amanah” berasal dari amina –ya’ manu –amnan –wa amanatan, yang secara harfiah berarti aman. Dalam sebuah ensiklopedi dijelaskan secara etimologis amanah berarti kejujuran, kepercayaan, kebalikan dari khianat, titipan; terkadang diartikan juga dengan keadaaan aman. Jiwa yang amanah menurut konsep Al-Qur’an adalah jiwa yang tidak hanya jujur tetapi juga teguh untuk mengemban kepercayaan yang diberikan kepadanya, serta menyadari amanah yang diterimanya itu berasal dari Tuhan.
  1. Jiwa yang Syukur
Kata syukur berasal dari syakara –yasykuru –syuk(an), artinya terima kasih. Namun tidak sekedar ucapan di bibir, “terima kasih”. Dalam kehidupan kita harus bersyukur karena begitu banyak nikmat yang telah Allah berikan. Jadi salah satu cara bersyukur adalah dengan wujud zakat, sesungguhnya bukan untuk kepentingan Tuhan tetapi kemaslahatan manusia yang memang selalu membutuhkan bimbingan-Nya.
  1. Jiwa yang Cerdas
Istilah cerdas lazimnya dinisbahkan pada akal, karena akal yang memiliki sifat itu, yakni akal yang cerdas. Jiwa yang cerdas adalah jiwa manusia yang menjadi inspirator lahirnya tindakan-tindakan yang tepat untuk menyayangi dan mengasihi serta menghindari impuls yang meledak-ledak. Untuk mencapai keberhasilan dalam kehidupan terdapat ciri-ciri lain yang berhubungan dengan jiwa yang cerdas selain kecerdasan IQ, ada juga kecerdasan emosional. Nabi Muhammad mempunyai sifat-sifat yang menggambarkan kecerdasan emosional beliau yaitu:
1)      Muhammad (jiwanya) tidak senang jika umatnya ditimpa sesuatu yang tidak diinginkan,
2)      Nabi sangat menginginkan agar umatnya mendapatkan taufik dari Allah, bertambah kuat imannya, bertambah baik keadaanya.
Betapa penting memiliki jiwa yang cerdas dalam arti mengembangkan kecerdasan emosional, yang hasilnya tidak hanya demi kesuksesan kehidupan yang lebih besar (menjanjikan) tetapi juga untuk kesehatan jiwa itu.
  1. Jiwa yang Berani
Sifat berani adalah sifat atau karakter yang melekat pada jiwa, bukan yang lain. Dalam Al-Qur’an keberanian atau rasa tidak takut atau rasa aman muncul sebagai buah dari iman yang seyogyanya memang menimbulkan rasa aman. Orang yang imannya mantap cenderung berani dan tidak terlanda oleh rasa cemas dan takut.
  1. Jiwa yang Optimis
Jiwa yang optimis adalah jiwa yang selalu mendorong keberhasilan yang besar dihadapan kita. Jiwa optimis adalah jiwa besar dengan berpikir positif. Bagi yang memilikinya hidup ini banyak peluang tidak sempit. Al-Qur’an memandang jiwa optimistik sangat positif, bahkan menentang sifat pesimistik yang sering membawa kepada sikap putus asa. Jadi iman yang kuat menghasilkan rasa optimistik di jiwa. 
  1. Jiwa yang Pemurah
Kata pemurah, dalam Kamus Umum artinya suka memberi; tidak pelit. Jiwa yang pemurah berarti jiwa yang menjadi sumber dorongan untuk memberi, menolong dan membantu. Al-Qur’an demikian mantap menjamin orang pemurah, bahwa ia akan berubah menjadi orang beruntung.
  1. Jiwa yang Tobat
Kata tobat berasal dari bahasa Arab, taubat, al-taubah. Secara bahasa tobat atau taubat berarti kembali (al-ruju’) yakni kembali dari arah tertentu yang tidak menguntungkan ke arah tertentu lain yang menguntungkan. Tobat atau kembali kepada Allah haruslah segera dilakukan. Al-Qur’an mengungkapkan: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada (meraih) syurga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.
  1. Jiwa yang Takwa
Jiwa yang takwa adalah jiwa hamba Allah yang berpegang pada prinsip hidup bersih dengan orientasi hidup menjauhkan diri dari segala larangan Allah sambil terus melaksanakan perintah-perintah-Nya, karena Allah berjanji memberikan hasil akhir itu.
  1. Jiwa yang Ihsan
Kata ihsan adalah bahasa Arab, berasal ahsana- yuhsinu- ihsan yang artinya “membaguskan”. Berdasarkan etimologis dapat dikatakan bahwa ihsan mempunyai dua pengertian yaitu ”melakukan sesuatu amal dengan sebaik-baiknya” dan berbuat kebaikan secara maksimal kepada diri sendiri selaku pelaku ihsan dan kepada pihak lain di luar diri, yaitu Allah swt. Sekurang-kurangnya ada delapan manfaat bagi orang yang berbuat ihsan dalam kehidupannya, yaitu:
a)    Orang yang berbuat ihsan memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat,
b)   Orang yang berbuat ihsan memperoleh rahmat Allah swt,
c)    Orang yang berbuat ihsan mendapatkan hidayah Allah,
d)   Orang yang berbuat ihsan memperoleh keberuntungan,
e)    Orang yang berbuat ihsan memperoleh ampunan Allah terhadap dosa dan kesalahan yang dilakukan.

  1. Jiwa yang Istiqamah
Istiqamah artinya taat asas atau teguh pendirian, tidak mudah  terpengaruh oleh situasi yang berkembang, sehingga tetap pada apa yang diyakini sebelumnya. Al-Qur’an mengajarkan istiqamah kepada manusia, utamanya dalam berpegang teguh pada keyakinan akan Allah swt, Tuhan Yang Maha Esa. Pada dimensi lain pun wajib istiqamah itu dipegang kuat-kuat agar segala yang dicita-citakan berhasil.
  1. Jiwa yang Bahagia
Kata bahagia adalah jiwa yang merasakan suasana baik dan menyenangkan, serta menggembirakan, dimana segala yang diraih dalam kehidupan sesuai dengan keinginan. Kebahagiaan yang dirasakan oleh manusia relatif berbeda yang pasti kebahagiaan ruhanilah yang sejati. Karena kebahagiaan sebatas materi hanya kebahagiaan semu.


Menghidupkan Hati
a.      Menghidupkan Hati
Tidak semua orang yang beragama hatinya betul-betul hidup. Salah satu pertanda manusia hatinya mati ialah bahwa hatinya tidak mempunyai perasaan, tidak peka atas keadaan yang melingkupi, sehingga banyak tertawa. Iman tidak cukup hanya sebatas percaya tetapi terdapat tuntutan-tuntutan sehubungan kepercayaan itu, yaitu amal-amal nyata, dan amal-amal itulah yang biasa membuktikan adanya iman, juga sekaligus adanya hati yang hidup. Karena iman yang di dalam hati, harus nyata fungsinya dalam kehidupan. Iman berhakikat dinamis karena dia menyangkut sikap batin atau hati. Maka tidak mungkin membuat iman sedemikian rupa, melainkan kita perlu dan harus menghidupkan, menumbuhkan , dan mengembangkan iman itu di dalam diri kita sedemikian rupa, mungkin dari tingkat yang sederhana, kemudian tumbuh dan tumbuh, berkembang dan terus berkembang menuju kesempurnaan, iman yang betul-betul kuat.
b.      Mengembangkan Hati dalam Cinta
Perkataan cinta berasal dari bahasa Al-Qur’an al-hubb atau muhabbah, yang artinya cinta dan kasih sayang. Orang yang punya hati (kalbu) pasti merasakan cinta. Cinta adalah perasaan yang dimilki semua orang yang memiliki hati yang hidup. Allah sendiri menghendaki kalau benar-benar beriman semestinya seorang mukmin meletakkan prioritas cintanya untuk Allah dan Rasulullah. Dengan demikian cinta kepada Allah dengan berbagai konsekuensinya merupakan sesuatu yang niscaya tidak boleh tidak, sehingga upaya pengembangan hati menuju cinta kepada Allah pastinya merupakan upaya terpuji dan mulia.
c.       Membuka Hati agar dekat dengan Allah
Membuka hati untuk beriman merupakan syarat mutlak untuk mendekatkan diri kepada Allah. tanpa kerelaan diri membuka hati , mustahil seseorang bisa dekat dengan Allah, karena hakikatnya ia tidak beriman kepada Allah, karena Allah tidak pernah di hatinya, Allah belum masuk dalam kalbunya.
d.      Menghilangkan Penyakit Hati
Syarat pertama dan utama masuk syurga adalah hati yang bersih yang tidak dikotori oleh berbagai penyakit hati yang biasa membebani. Kewajiban mukmin ialah menjaga hati dan iman yang terdapat di dalamnya agar produktif menghasilkan amal-amal salih. Demi kesehatan hati yang sekaligus kesehatan si mukmin secara keseluruhan, mukmin wajib menghilangkan penyakit-penyakit hatinya yang dapat mengindikasikan lemahnya keyakinan atau hati. Kepribadian yang kuat menurut psikologi adalah kepribadian yang secara jelas memiliki sifat-sifat kepribadian (personality traits) yang positif.
e. Menjaga Hati dari Gangguan Setan  
yang wajib dijaga adalah iman yang merupakan anugerah Allah kepada setiap mukmin dalam hatinya. Kondisi hati yang penuh dengan iman yang kokoh, dalam arti imannya tidak keluar, akan menjadi benteng pertahanan dan ketahanan untuk tidak terjadinya tindakan maksiat dan perbuatan jahat. Menjaga hati dari hal-hal yang dapat mengotori berarti kita berupaya maksimal untuk menjauhkan diri ari indakan-tindakan maksiat, munkarat, dan segala perbuatan jahat.
f. Membersihkan Hati dengan Dzikrullah
Menjaga kestabilan (qalbu) hati harus selalu dalam proses pebersihan, agar dalam keadaan salim selalu. Media apa saja yang dapat menimblkan suasana hati meningat Allah dapat dipandang sebagai metode dzikrullah. Dzikrullah dalam Islam, memilki banyak metode dari yang bentuknya ibadah mahdlah (sakral) atau yang wujudnya perbuatan profane, yang biasa-biasa saja. Keadaan selalu ingat kepada Allah karena selalu meakukan dzikrullah merupakan rem yang paling ampuh untuk tidak terjerumus ke dalam lembah nista yang mengotori, sehingga dengan begitu dzikrullah betul-betul merupakan upaya atau cara yang paling efektif dalam proses pembersihan hati/diri.
g. Hati yang Bersih dalam Sejarah   
Menurut Ibn al-Jawziy, istilah qalbun salim maksudny adalah bersih dari:
1)   Syirik (menyekutukan Allah);
2)   Keraguan (al-Syakk);
3)   Kemunafikan, dusta, bohong, dan khianat (hati itu benar-benar hati yang sehat, yakni hati orang yang beriman, bukan hati orang kafir dan munafik, karena hati keduanya sakit);
4)   Hatinya sarat dengan rasa takut kepada Allah;
5)   Malapetaka dan kekacauan masalah harta dan anak;
6)   Berbagai penyakit hati, baik yang besar tingkat keburukannya maupun yang ringan.
Kalau di dunia, seseorang telah memilki hati yang bersih, maka ketika menghadap Tuhan di akhirat, ia menghadap-Nya dengan hati yang bersih itu. Dia akan selamat dan bahagia menerima rahmat-Nya dalam surga. Untuk menyiapkan diri untuk datang kepada Allah dengan hati bersih, maka mestilah kita:
a)    Berupaya mewaspadai jangan sampai hati kita mengalami kekufuan, syirik, dan nifaq (dusta, khianat, dan ingkar janji);
b)   Melikuidasi sifat sombong/angkuh;
c)    Menghilangkan sifat dengki;
d)   Meninggalkan sifat iri, kecuali dalam hal-hal tertentu;
e)    Meninggalkan rasa ‘ujub (mengagumi diri sendiri);
f)    Berusaha sungguh-sungguh untuk tidak kikir/pelit;
g)    Suka menolong orang lain, menebar rahmat dan kasih sayang kepada sesama, terutama umat Islam;
h)   Berupaya mengembangkan cinta kepada Allah dengan jalan Ittiba’ al-Rasul (mengikuti sunah Rasulullah saw);
i)     Jangan terjebak oleh hub al-dunya, karena ia akan mengakibatkan terjadinya lupa pad aurusan akirat;
j)     Jangan terjebak oleh cinta harta secara berlebihan, seab hal itu aan menyebabkan lupa pada hari perhitungan (yaum al-hisab);
k)   Jangan terjebak oleh tindakan-tindakan dosa dimana ada saat yang sama lupa untuktobat kepada Allah SWT;
l)     Jangan terlalu cinta pada kemewahan sebab hal itu akan menyebabkan lupa pada kehidupan alam barzah/kubur;
m) Jangan terlalu cinta kepada makhuk, sebab hal itu bisa menyebabkan lupa al-khaliq (       Tuhan Maha Pencipta).

h. Mewaspadai Bolak-Baliknya Hati
Ada tiga perkara yang dapat merasakan manisnya iman, yaitu
1.    Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya;
2.    Ia tidak mencintai seseorang kecuai karena Alla semata;
3.    Dia benci untk kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka.
Dapat dipahami pula bahwa yang paling menentukan amal seseorang itu bukan apa yang dilakukan semasa hidupnya, tetapi dalam keadaan bagaimanakah ia mengakhiri hidupnya (dalam keadaan baik atau dalam keadaan buruk). Maka dari itu setiap mukmin wajib mewaspadai dengan cermat kondisi bolak-baiknya hati.

i. Hati yang Bersih akan Menerim Rahmat Allah
Agama Islam yang bersumber pada Al-Qur‘an dan al-Sunah memberikan petunjuk praktis untuk memperleh kasih-sayang (rahmat) dan cinta/hub Allah SWT, yaitu yang berikut:
a)      Meraih rahmat Allah
b)      Meraih cinta Allah
  
 



Hakekat Dan Kakarkteristik Ajaran Islam



POSISI AL-QUR’AN DALAM STUDI KEISLAMAN DAN ILMU PENGETAHUAN

a.      Al-Qur’an Dan Ilmu Pengetahuan

Membahas al-Qur’an dengan hubungannya dengan ilmu pengetahuan, menurut Quraish Shihab, bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan menunjukan kebenaran teori-teori ilmiah, tetapi pembahaannya hendaknya diletakan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian al-Qur’an dan sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan iu sendiri.
Membahas hubungan antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan bukan dengan melihat, misalnya adakah teori relativitas atau bahasan tebtabg luar angkasa, ilmu computer yang tercabtum dalam al-Qur’an , tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa-jiwa ayatnya yang menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat al-Qur’an yang bertentangan dengan ilmu hasil penemuan ilmiah yang telah mapan? Dengan kata lain meletakanya pada sisi “social psychology” (psikologi sosial) bukan pada sisi “history of scientific progress” (sejarah perkembangan ilmu pengetahuan).
Al-Qur’an menghargai akal, dari dorongan ini berkembanglah filsafat dan sains Islami yang kelak diteruskan ke Barat. Selain itu, al-Qur’an juga menghargai rasa atau hati. Ayat-ayat al-Qur’an banyak juga yang tidak dapat dipahami dengan akal yang hanya mungkin dipahami dengan rasa. Oleh karena itu, pengetahuan yang berbasis rasa cukup berkembang di dalam masyarakat Islam yang disebut jalur rasa, jalur tashawwuf.
Dipahami bahwa ukuran ilmu adalah terletak pada hakekatnya, tanpa harus memandang darimana ilmu itu datang. Maka barang siapa yang melihat ukuran ilmu adalah dari pelakunya  oleh Al-Ghazali, orang tersebut telah terjebak ke dalam keslahan yang fatal.
Dalam al-Qur’an tidak ada satu pun yang bertujuan melumpuhkan akal sehingga menghalangi seseorang untuk memikirkan maknanya, tidak sedikit ayat yang menganjurkan manusia supaya berpikir, merenungkan penciptaan Allah Yang Maha Kuasa dan Bjaksana dan tidak pula sesuatu yang merintangi akal untuk memperoleh tambahan ilmu pengetahuan seluas-luasnya dan sedam-dalamnya, bagi setiap muslim semua kemungkaran itu dijamin oleh al-Qur’an, hal itu tidak ada sama sekali dalam kitabkitab agama lain. Al-Qur’an membuka pemikiran dan pandangan manusia untuk melihat dan merenungi tanda-tanda kekuasaan Allah pada ciptaannya. Betapa banyak ayat-ayat al-Qur’an yang mendorong kaum muslim agar mempergunakan akalnya untuk menganalisi dan peringatan-peringatan Allah dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan, bagi orang yang beriman keyingian martabat justru diraih dengan iman dan ilmunya, dalam hubungan ini Allah SWT  berfirman :
“Allah SWT akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang berilmu pengetahuan beberapa derajat…” (QS.58:11).
“Katakanlah, adakah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui…”(QS.39:11)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin maju dan berkembangnya ilmu pengetahuan, maka  semakin tampak dan jelas kemukzatan dan kebenaran al-Qur’an.
Ibn Khaldun menyebutnya dengan istilah pengetahun naqliyah (diwahyukan) dan pengetahuan aqliyah (dipikirkan). Jadi, pengetahuan dalam pandangan Islam sebenarnya hanya satu, untuk kepentingan pendidikan, pengetahuan yang satu itu harus diklasikan, klasifikasikan garis besar ialah tadi itu pengetahuan yang ditawarkan oleh konferensi tadi ialah perennial knowledge dan acquired knowledge artinya sama saja dengan sebelumnya.
Cara membagi pengetahuan manusia yaitu pengetahuan dibagi dua : Pertama, pengetahuan yang diwahyukan. Kedua, pengetahuan yang diperoleh. Maksud diperoleh ialah dicari sendiri oleh manusia, sedangkan pengetahuan yang diwahyukan adalah pengetahuan yang diterima.
Pengetahuan agama / ilmu agama ialah pengetahuan yang diwahyukan, yaitu pengetahuan tentang al-Qur’an dan hadist serta semua pengetahuan tentang isinya yang biasanya dikembangkan dalam tradisi Islam. Yaitu semua ilmu adalah “ilmu yang kamu miliki selain apa yang Engkau ajarkan kepada kami” (Al-Baqarah:32).   
Menurut Al-Syaibani (1979:269), pengetahuan manusia itu dapat dibagi menjadi pengetahuan    fitriah (pembawaan) dan pengetahuan pengetahuan yang dipelajari. Seseorang bertanya kepada Imam Ghazali, “coba sebutkan kepada saya berapa jenis manusia yang terdapat dalam  kehidupan ini berdasarkan pengetahuannya!” ia menarik nafas panjang dan berkata “ada orang yang tidak tahu bahwa ia tidak tahu, ada orang yang tidak tahu bahwa ia tahu, ada orabg yabg tahu bahwa ia tidak tahu dan ada orang  yang tahu bahwa ia tahu”. Kemudian orang itu Tanya lagi, “bagaimana caranya agar saya mendapatkan pengetahuan yang benar?” Imam Ghazali menjawab, “muda saja ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang tidak tahu”.
b.      Posisi Al-Qur’an Dalam Berbagai Studi Keislaman Ilmu Agama dan Ilmu Umum
Al-Qur’an tidak hanya sebagai petunjuk bagi setiap suatu kaum tertentu dan periode waktu tertentu, melainkan menjadi petunjuk yang universal dan sepanjang waktu, al-Qur’an itu pun patut bagi setiap zaman dan waktu. Oleh karena itu petunjuknya sangat luas seperti luasnya umat manusia dan meliputi segala aspek manusia.
1.      Teologi Islam
Dilihat dari segi etimologi (bahasa) ataupun dari termenologinya (istilah), teologi sendiri terdiri dari asal kata “Theos” yang mempunyai arti “ilmu” jadi, arti kata teologi adalah ilmu tentang ketuhanan, atau ilmu tentang Tuhan.
Dalam ilmu teologi juga dibahas tebtabf orabg-orang yang beriman, kafir, musrik, dan sebagainya. Juga terdapat pembahasan tentang pahala dan siksa di akhirat. Semua maalah yang dibahas di teologi Islam terdapat dalam al-Qur’an, sebagaimana dinyatakan dalam pembicaraannya mengenai para nabi dan Rasul seperti :
“Hai orabg-orang yang beriman, yakinlah kepada Rausl-Nya dan kepada kitab yang diturunkan kepada—Nya kepada Rasul-Nya dan kepada kitab-kitab yang diturunkan-Nya terdahulu. Barabf siapa yang kafir kepada-Nya, Rasul-Nya,dan hari kemudian maka sesunguhnya orag itu telah  sesat sejauh-jauhnya”. (QS.4-31).
2.      Ilmu Fiqih
Ilmu Islam atau fiqih didefinisikan sebagai ilmu yang membahas tentang hkum-hukum syariah yang bersifat amaliah praktis, diambil dari dalil-dalil yang dimaksud dalam definisi tersebut antara lain bersumber pada al-Qur’an.
Kerangka-kerangka pernyataan al-Qur’an cukup universal dan konkrit, memasukan sifat-sifat tertentu dadalam kehidupan al-Qur’an tidak hanya menyatakan prinsip-prinsip spiritualdan moral yang external, melainkan membimbing Nabi Muhammad SAW dan masyarakat Islam permulaan dalam perjuangan melawan musuh-musuh orang mekah, yahudi dan munafik. Dan dalam menyusun tugas-tugas dan kenegaraan yang baru tumbuh didalam al-Qur’an  juga terdapat pernyataan terinci criminal seperti perzinahan, yang secara hokum tidak ditentukan, namun di dalamnya terdapat sedikit pernyataan yang layak, yakni perundang-undangan seperti perintah-perintah khusus untuk perjuangan melawan atau berhubungan dengan orang-orang non muslim. Berbagai hal itu sesuai dengan situasi dan sangat spesifik untuk disebut hukum.
3.      Ilmu Akhlak
Dari sudut kebahasaan, akhlak berasl dari kata khuluq untuk budi pekerti. Sedangkan ayat kedua mengunakan kata akhlak untuk arti adat kebiasaan. Dengan demikian kata akhlak atau khuluq secara kebahasaan berarti budi pekerti, adat kebiasaan, perangai, mu’ruah atau segala sesuatu yang sudah menjadi tabiat.
4.   Ilmu Tasawuf
Tasawuf  atau sufisme bertujuan agar seseorang secara  sadar memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa ia berada di hadirat Tuhan. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 186, “jika hamba-hambaKu bertanya padamu tentang diriKu, Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepadaKu”. (QS.2:186). Kata  doa yang terdapat dalam ayat ini oleh sufi diartikan berdoa dalam arti yang lazim dipakai, tetapi mereka artikan berseru, memanggil.



Daftar Pustaka 
Gholib, Ahmad. 2005. Studi Islam. Jakarta : Faza Media. 
Baiquni. 1983. Islam dan Ilmu Pegtahuan Modern. Bandung : Pustaka. 
Masri, Elmahsyar  Bidin dkk. 2003. Integrasi Ilmu Agama dan Umum Mencari Format Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Jakarta : UIN Jakarta Press.