- Jiwa yang Beriman
Sebagai
makhluk psikofisik, manusia dalam meraih kesejahteraan hidupnya tidak hanya
membutuhkan hal-hal yang bersifat materi, tetapi juga kebutuhan keamanan,
kedamaian, kesentosaaan dan keselamatan. Dapat dikatakan bahwa sebuah jiwa
disebut beriman manakala hati individu yang bersangkutan telah dimasuki hal-hal
yang berhubungan dengan dimensi keimanan, seperti Allah, malaikat, para nabi,
kitab-kitab-Nya dan hari akhir. Jadi iman merupakan persoalan hati, bukan
persoalan jiwa. Jiwa yang beriman adalah jiwa yang tidak cenderung kepada
tindakan-tindakan zhalim (aniaya). Karena pada dasarnya iman yang benar
(al-iman al-shahih) tidaklah wajar dicampur dengan kezaliman. Jiwa yang beriman
seharusnya melahirkan lebih banyak lagi tindakan-tindakan adil sebagai lawan
dari tindakan-tindakan zalim. Perhatikan firman Allah: “Orang-orang yang
beriman dan tidak mencampur adukkan keimanan mereka dengan kezaliman (utamanya,
syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat kedamaian dan keamanan, dan
mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am/6: 82). Dengan
demikian jiwa yang beriman ialah jiwa yang memilki sifat-sifat utama
kepribadian (primary traits of personality).
- Jiwa yang Tenang
Jiwa
manusia yang meliputi tiga kategori atau tingkatan, yaitu:
Pertama,
disebut.al-nafs al- ammarah dalam surah Yusuf: 53/ jiwa tingkatan ini merupakan
tingkatan rendah manusia yang cenderung memerintah/mendorong manusia berbuat
keburukan. Jiwa kategori ini disebut pula al-nafs al-hayawaniyyah (jiwa hewan).
Kedua
adalah jiwa yang disebut al-nafs al-lawwamah dalam surah al-qiyamah/75:2/. Jiwa
kategori ini merupakan jiwa yang mencela atau menyalahkan diri sendiri.kategori
ini tingkatannya lebih tinggi dari kategori pertama karena jiwa ini sanggup
mencela dan menyalahkan diri sendiri memiliki harapan untuk menemukan kembali
kebenaran dan mengikutinya. Inilah disebut al-nafs al-insaniyyah (jiwa insani).
Ketiga
adalah jiwa yang disebut al-nafs al-muthma’innah (jiwa yang tenang) seperti
disebut dalam surah al-fajr/89: 27.
Manusia yang memilki jiwa ini diindikasikan memilki karakteristik
sebagai berikut:
1.Cenderung ingin kembali dan ingin
dekat kepada Tuhan atau ingin sesuai dengan yang digariskan Tuhan dalam
menempuh kehidupan.
2.Menerima dengan rela dan puas
segala apa yang digariskan Allah kepadanya dan menjalankan semuanya dengan
perasaan puas.
3.Batinnya tidak cemas , lagi
bersedih. Karena merasa optimis untuk memperoleh rahmat Tuhan.
4.Kecendrungannnya bergabung dengan
hamba-hamba Allah yang salih, untuk mencari kebaikan-kebaikan dan mencontoh
keteladanan mereka.
5.Merasa mantap atas dasar iman
yang benar, amal-amal salih yang nyata dan atas keyakinan bahwa semua pasti
dibalas oleh Tuhan di akhirat.
- Jiwa yang rela
Kata
“rela” berasal dari bahasa Arab, ridha. Artinya senang, sukacita, atau puas,
puas dalam menerima segala yang diberi Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam perspektif
tasawuf, ridha atau rela (puas) merupakan salah
satu maqam (stasion) yang ditempuh seorang sufi yang sedang mendekatkan
dirinya kepada Allah SWT. Langkah menerima segala bagian dari Tuhan dengan jiwa
puas sesungguhnya menyehatkan jiwa. Ridha atau rela yang telah kita lakukan
walhasil akan dibalas ridha Allah nantinya. Di akhir surah Al-Bayinnah/98, Allah
SWT menerangkan: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
salih, itulah mereka sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka
ialah surga-surga ‘Adn, yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal
di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun ridha
kepada-Nya. Yang demikian itu adalah bagi orang yang takut kepada Tuhannya”.
D. Jiwa
yang Sabar
Jiwa
yang sabar adalah jiwa yang dimilki oleh orang yang sabar. Dalam al-Qur’an
al-karim, orang-orang sabar disebut al-shaabirun (orang-orang sabar). Secara
etimologis sabar berasal dari bahasa Arab shabara yang arti dasarnya menahan
(al-habs), seperti habs al-hayawan (mengurung hewan), menahan diri dan
mengendalikan jiwa. Dalam al-Qur’an, ayat-ayat yang menunjukkan masalah sabar
pada saat seseorang atau sekelompok orang yang ditimpa oleh hal-hal yang secara
manusiawi tak menyenangkan. Selanjutnya, menurut pandangan Imam Ghazali
mengenali lingkup wilayah aplikasi sabar, yang meliputi 3 (tiga) wilayah,
yaitu:
·
Al-shabr
fi al-thaa’ah (sabar dalam terus menerus menjalankan ketaatan),
·
Al-shabr
‘an al-ma’shiyyah (sabar dalam rangka menghindarkan diri dari maksiat), dan
·
Al-shabr
‘ala al-mushibah (tegar dan sabar dalam menghadapi musibah).
Sedangkan
menurut Al-Qur’an lingkup aplikasi sabar, meliputi hal-hal yang berikut:
a) Dalam hal ibadah, surah
Maryam/19, ayat 65.
b) Dalam menghadapi ejekan dan
fitnahan orang kafir, surah thaha/20, ayat 130.
c) Dalam menghadapi musibah. Surah
Luqman/31, ayat 17.
d) Dalam menanti ketetapan Allah SWT.
Surah Al-Thuur, ayat 48.
e)
Dalam
menunggu janji Allah. Surah Al-Ruum/30, ayat 60.
f) Dalam memperoleh segala
kebutuhan. Surah Al-Baqarah/2, ayat 153.
g) Dalam rangka mendaptkan kekuatan
yang berlipat. Surah Al-Anfal/8, ayat 65.
- Jiwa yang Tawakal
Kata
“tawakal” berasal dari tawakkala-yatawakkalu –tawakkulan, yakni tawakkul. Dalam
Al-Qur’an, objek tawakal adalah Tuhan sebaik-baiknya tempat bersandar, yaitu
Allah SWT. Jadi jiwa yang tawakal adalah jiwa yang dalam setiap mengisi
kehidupan, dalam perbuatan aspek apa pun dalam kehidupan, menyandarkannnya atau
melaporkannya kepada Allah selaku Al-Wakil (Tuhan tempat bersandar), Tawakal
merupakan pekerjaan jiwa, tentu hati juga. Sikap tawakal, selain akan menanamkan
rasa optimisme dalam diri, juga akan menjauhkan manusia dari rasa kecewa dan
putus asa. Apabila kita merasakan cinta dan kasih sayang Allah yang disertai
rasa bersandar diri kepada-Nya. Niscaya akan timbul rasa optimis dalam berusaha,
kita akan yakin bahwa rahmat-Nya meliputi segalanya.
- Jiwa yang Jujur
Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia Kata “jujur” artinya “lurus hati”, “curang”, dan
“disegani”. Orang yang berkata atau bersikap atau berbuat yang sebenarnya,
sesuai dengan kata hatinya disebut orang jujur.
- Jiwa yang Amanah
Kata
“amanah” berasal dari amina –ya’ manu –amnan –wa amanatan, yang secara harfiah
berarti aman. Dalam sebuah ensiklopedi dijelaskan secara etimologis amanah
berarti kejujuran, kepercayaan, kebalikan dari khianat, titipan; terkadang
diartikan juga dengan keadaaan aman. Jiwa yang amanah menurut konsep Al-Qur’an
adalah jiwa yang tidak hanya jujur tetapi juga teguh untuk mengemban
kepercayaan yang diberikan kepadanya, serta menyadari amanah yang diterimanya
itu berasal dari Tuhan.
- Jiwa yang Syukur
Kata
syukur berasal dari syakara –yasykuru –syuk(an), artinya terima kasih. Namun
tidak sekedar ucapan di bibir, “terima kasih”. Dalam kehidupan kita harus
bersyukur karena begitu banyak nikmat yang telah Allah berikan. Jadi salah satu
cara bersyukur adalah dengan wujud zakat, sesungguhnya bukan untuk kepentingan
Tuhan tetapi kemaslahatan manusia yang memang selalu membutuhkan bimbingan-Nya.
- Jiwa yang Cerdas
Istilah
cerdas lazimnya dinisbahkan pada akal, karena akal yang memiliki sifat itu,
yakni akal yang cerdas. Jiwa yang cerdas adalah jiwa manusia yang menjadi
inspirator lahirnya tindakan-tindakan yang tepat untuk menyayangi dan mengasihi
serta menghindari impuls yang meledak-ledak. Untuk mencapai keberhasilan dalam
kehidupan terdapat ciri-ciri lain yang berhubungan dengan jiwa yang cerdas
selain kecerdasan IQ, ada juga kecerdasan emosional. Nabi Muhammad mempunyai
sifat-sifat yang menggambarkan kecerdasan emosional beliau yaitu:
1) Muhammad (jiwanya) tidak senang
jika umatnya ditimpa sesuatu yang tidak diinginkan,
2) Nabi sangat menginginkan agar
umatnya mendapatkan taufik dari Allah, bertambah kuat imannya, bertambah baik
keadaanya.
Betapa
penting memiliki jiwa yang cerdas dalam arti mengembangkan kecerdasan
emosional, yang hasilnya tidak hanya demi kesuksesan kehidupan yang lebih besar
(menjanjikan) tetapi juga untuk kesehatan jiwa itu.
- Jiwa yang Berani
Sifat
berani adalah sifat atau karakter yang melekat pada jiwa, bukan yang lain.
Dalam Al-Qur’an keberanian atau rasa tidak takut atau rasa aman muncul sebagai
buah dari iman yang seyogyanya memang menimbulkan rasa aman. Orang yang imannya
mantap cenderung berani dan tidak terlanda oleh rasa cemas dan takut.
- Jiwa yang Optimis
Jiwa
yang optimis adalah jiwa yang selalu mendorong keberhasilan yang besar
dihadapan kita. Jiwa optimis adalah jiwa besar dengan berpikir positif. Bagi
yang memilikinya hidup ini banyak peluang tidak sempit. Al-Qur’an memandang
jiwa optimistik sangat positif, bahkan menentang sifat pesimistik yang sering
membawa kepada sikap putus asa. Jadi iman yang kuat menghasilkan rasa
optimistik di jiwa.
- Jiwa yang Pemurah
Kata
pemurah, dalam Kamus Umum artinya suka memberi; tidak pelit. Jiwa yang pemurah
berarti jiwa yang menjadi sumber dorongan untuk memberi, menolong dan membantu.
Al-Qur’an demikian mantap menjamin orang pemurah, bahwa ia akan berubah menjadi
orang beruntung.
- Jiwa yang Tobat
Kata
tobat berasal dari bahasa Arab, taubat, al-taubah. Secara bahasa tobat atau
taubat berarti kembali (al-ruju’) yakni kembali dari arah tertentu yang tidak
menguntungkan ke arah tertentu lain yang menguntungkan. Tobat atau kembali
kepada Allah haruslah segera dilakukan. Al-Qur’an mengungkapkan: “Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada (meraih) syurga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.
- Jiwa yang Takwa
Jiwa
yang takwa adalah jiwa hamba Allah yang berpegang pada prinsip hidup bersih
dengan orientasi hidup menjauhkan diri dari segala larangan Allah sambil terus
melaksanakan perintah-perintah-Nya, karena Allah berjanji memberikan hasil
akhir itu.
- Jiwa yang Ihsan
Kata
ihsan adalah bahasa Arab, berasal ahsana- yuhsinu- ihsan yang artinya
“membaguskan”. Berdasarkan etimologis dapat dikatakan bahwa ihsan mempunyai dua
pengertian yaitu ”melakukan sesuatu amal dengan sebaik-baiknya” dan berbuat
kebaikan secara maksimal kepada diri sendiri selaku pelaku ihsan dan kepada
pihak lain di luar diri, yaitu Allah swt. Sekurang-kurangnya ada delapan
manfaat bagi orang yang berbuat ihsan dalam kehidupannya, yaitu:
a) Orang yang berbuat ihsan
memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat,
b)
Orang
yang berbuat ihsan memperoleh rahmat Allah swt,
c) Orang yang berbuat ihsan
mendapatkan hidayah Allah,
d) Orang yang berbuat ihsan memperoleh
keberuntungan,
e) Orang yang berbuat ihsan
memperoleh ampunan Allah terhadap dosa dan kesalahan yang dilakukan.
- Jiwa yang Istiqamah
Istiqamah
artinya taat asas atau teguh pendirian, tidak mudah terpengaruh oleh situasi yang berkembang,
sehingga tetap pada apa yang diyakini sebelumnya. Al-Qur’an mengajarkan
istiqamah kepada manusia, utamanya dalam berpegang teguh pada keyakinan akan
Allah swt, Tuhan Yang Maha Esa. Pada dimensi lain pun wajib istiqamah itu dipegang
kuat-kuat agar segala yang dicita-citakan berhasil.
- Jiwa yang Bahagia
Kata
bahagia adalah jiwa yang merasakan suasana baik dan menyenangkan, serta
menggembirakan, dimana segala yang diraih dalam kehidupan sesuai dengan
keinginan. Kebahagiaan yang dirasakan oleh manusia relatif berbeda yang pasti
kebahagiaan ruhanilah yang sejati. Karena kebahagiaan sebatas materi hanya
kebahagiaan semu.
Menghidupkan Hati
a.
Menghidupkan Hati
Tidak
semua orang yang beragama hatinya betul-betul hidup. Salah satu pertanda
manusia hatinya mati ialah bahwa hatinya tidak mempunyai perasaan, tidak peka
atas keadaan yang melingkupi, sehingga banyak tertawa. Iman tidak cukup hanya
sebatas percaya tetapi terdapat tuntutan-tuntutan sehubungan kepercayaan itu,
yaitu amal-amal nyata, dan amal-amal itulah yang biasa membuktikan adanya iman,
juga sekaligus adanya hati yang hidup. Karena iman yang di dalam hati, harus
nyata fungsinya dalam kehidupan. Iman berhakikat dinamis karena dia menyangkut
sikap batin atau hati. Maka tidak mungkin membuat iman sedemikian rupa,
melainkan kita perlu dan harus menghidupkan, menumbuhkan , dan mengembangkan
iman itu di dalam diri kita sedemikian rupa, mungkin dari tingkat yang
sederhana, kemudian tumbuh dan tumbuh, berkembang dan terus berkembang menuju
kesempurnaan, iman yang betul-betul kuat.
b.
Mengembangkan Hati dalam Cinta
Perkataan
cinta berasal dari bahasa Al-Qur’an al-hubb atau muhabbah, yang artinya cinta
dan kasih sayang. Orang yang punya hati (kalbu) pasti merasakan cinta. Cinta
adalah perasaan yang dimilki semua orang yang memiliki hati yang hidup. Allah
sendiri menghendaki kalau benar-benar beriman semestinya seorang mukmin
meletakkan prioritas cintanya untuk Allah dan Rasulullah. Dengan demikian cinta
kepada Allah dengan berbagai konsekuensinya merupakan sesuatu yang niscaya
tidak boleh tidak, sehingga upaya pengembangan hati menuju cinta kepada Allah
pastinya merupakan upaya terpuji dan mulia.
c.
Membuka Hati agar dekat dengan
Allah
Membuka
hati untuk beriman merupakan syarat mutlak untuk mendekatkan diri kepada Allah.
tanpa kerelaan diri membuka hati , mustahil seseorang bisa dekat dengan Allah,
karena hakikatnya ia tidak beriman kepada Allah, karena Allah tidak pernah di
hatinya, Allah belum masuk dalam kalbunya.
d.
Menghilangkan Penyakit Hati
Syarat
pertama dan utama masuk syurga adalah hati yang bersih yang tidak dikotori oleh
berbagai penyakit hati yang biasa membebani. Kewajiban mukmin ialah menjaga
hati dan iman yang terdapat di dalamnya agar produktif menghasilkan amal-amal
salih. Demi kesehatan hati yang sekaligus kesehatan si mukmin secara
keseluruhan, mukmin wajib menghilangkan penyakit-penyakit hatinya yang dapat
mengindikasikan lemahnya keyakinan atau hati. Kepribadian yang kuat menurut
psikologi adalah kepribadian yang secara jelas memiliki sifat-sifat kepribadian
(personality traits) yang positif.
e. Menjaga Hati dari Gangguan Setan
yang
wajib dijaga adalah iman yang merupakan anugerah Allah kepada setiap mukmin
dalam hatinya. Kondisi hati yang penuh dengan iman yang kokoh, dalam arti
imannya tidak keluar, akan menjadi benteng pertahanan dan ketahanan untuk tidak
terjadinya tindakan maksiat dan perbuatan jahat. Menjaga hati dari hal-hal yang
dapat mengotori berarti kita berupaya maksimal untuk menjauhkan diri ari
indakan-tindakan maksiat, munkarat, dan segala perbuatan jahat.
f. Membersihkan Hati dengan
Dzikrullah
Menjaga
kestabilan (qalbu) hati harus selalu dalam proses pebersihan, agar dalam
keadaan salim selalu. Media apa saja yang dapat menimblkan suasana hati
meningat Allah dapat dipandang sebagai metode dzikrullah. Dzikrullah dalam
Islam, memilki banyak metode dari yang bentuknya ibadah mahdlah (sakral) atau
yang wujudnya perbuatan profane, yang biasa-biasa saja. Keadaan selalu ingat
kepada Allah karena selalu meakukan dzikrullah merupakan rem yang paling ampuh
untuk tidak terjerumus ke dalam lembah nista yang mengotori, sehingga dengan
begitu dzikrullah betul-betul merupakan upaya atau cara yang paling efektif
dalam proses pembersihan hati/diri.
g. Hati yang Bersih dalam Sejarah
Menurut
Ibn al-Jawziy, istilah qalbun salim maksudny adalah bersih dari:
1)
Syirik
(menyekutukan Allah);
2)
Keraguan
(al-Syakk);
3)
Kemunafikan,
dusta, bohong, dan khianat (hati itu benar-benar hati yang sehat, yakni hati
orang yang beriman, bukan hati orang kafir dan munafik, karena hati keduanya
sakit);
4)
Hatinya
sarat dengan rasa takut kepada Allah;
5)
Malapetaka
dan kekacauan masalah harta dan anak;
6)
Berbagai
penyakit hati, baik yang besar tingkat keburukannya maupun yang ringan.
Kalau
di dunia, seseorang telah memilki hati yang bersih, maka ketika menghadap Tuhan
di akhirat, ia menghadap-Nya dengan hati yang bersih itu. Dia akan selamat dan
bahagia menerima rahmat-Nya dalam surga. Untuk menyiapkan diri untuk datang
kepada Allah dengan hati bersih, maka mestilah kita:
a)
Berupaya
mewaspadai jangan sampai hati kita mengalami kekufuan, syirik, dan nifaq
(dusta, khianat, dan ingkar janji);
b)
Melikuidasi
sifat sombong/angkuh;
c)
Menghilangkan
sifat dengki;
d)
Meninggalkan
sifat iri, kecuali dalam hal-hal tertentu;
e)
Meninggalkan
rasa ‘ujub (mengagumi diri sendiri);
f)
Berusaha
sungguh-sungguh untuk tidak kikir/pelit;
g)
Suka
menolong orang lain, menebar rahmat dan kasih sayang kepada sesama, terutama
umat Islam;
h)
Berupaya
mengembangkan cinta kepada Allah dengan jalan Ittiba’ al-Rasul (mengikuti sunah
Rasulullah saw);
i)
Jangan
terjebak oleh hub al-dunya, karena ia akan mengakibatkan terjadinya lupa pad
aurusan akirat;
j)
Jangan
terjebak oleh cinta harta secara berlebihan, seab hal itu aan menyebabkan lupa
pada hari perhitungan (yaum al-hisab);
k)
Jangan
terjebak oleh tindakan-tindakan dosa dimana ada saat yang sama lupa untuktobat
kepada Allah SWT;
l)
Jangan
terlalu cinta pada kemewahan sebab hal itu akan menyebabkan lupa pada kehidupan
alam barzah/kubur;
m) Jangan terlalu cinta kepada
makhuk, sebab hal itu bisa menyebabkan lupa al-khaliq ( Tuhan Maha Pencipta).
h. Mewaspadai Bolak-Baliknya Hati
Ada
tiga perkara yang dapat merasakan manisnya iman, yaitu
1.
Allah
dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya;
2.
Ia
tidak mencintai seseorang kecuai karena Alla semata;
3.
Dia
benci untk kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka.
Dapat
dipahami pula bahwa yang paling menentukan amal seseorang itu bukan apa yang
dilakukan semasa hidupnya, tetapi dalam keadaan bagaimanakah ia mengakhiri
hidupnya (dalam keadaan baik atau dalam keadaan buruk). Maka dari itu setiap
mukmin wajib mewaspadai dengan cermat kondisi bolak-baiknya hati.
i. Hati yang Bersih akan Menerim
Rahmat Allah
Agama
Islam yang bersumber pada Al-Qur‘an dan al-Sunah memberikan petunjuk praktis
untuk memperleh kasih-sayang (rahmat) dan cinta/hub Allah SWT, yaitu yang
berikut:
a)
Meraih
rahmat Allah
b)
Meraih
cinta Allah